Alhamdulillah, Segala puji  bagi Allah SWT  yang telah  mengaruniakan  rahmatNya kepada saya dan kita semua  sehingga  dapat menyelesaikan   makalah yang berjudul : “ aliran filsafat islam hikmah al-muta’alliyah “
Kalau  bukan karena kemurahanNya  tugas ini   sulit untuk  diselesaikan, mengingat begitu banyak ujian dan cobaan yang dilalui.
Saya mengucapkan terima kasih yang sedalamnya kepada Dosen pembimbing, Yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan,  dan bantuan yang sangat berharga selama ini.
Dalam penulisan makalah ini penulis menyadari  masih  terdapat  kekurangan . Oleh  karena itu penulis  terbuka terhadap kritikan yang sifatnya membangun demi kesempurnaan . Mudah – mudahan   karya  ini  berguna   bagi masyarakat  dan  mendapat ridho Allah SWT. Amin.


                                                                        Pamekasan,  18  Oktober 2014          
                                                                        Penulis,




COVER  ............................................................................................................
KATA PENGANTAR ..................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1.  Latar belakang masalah..................................................................... 1
1.2.  Rumusan masalah.............................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Filsafat Islam..................................................................... 3
          2.2.    Pengertian Hikmah Muta’aliyah...................................................... 3
         2.3    Tokoh aliran hikmah muta’aliyah...................................................... 4
        2.3.1    Mulla shadra...................................................................................... 4

BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ......................................................................................... 7
Daftar pustaka.................................................................................................. 8


BAB I
PENDAHULUAN

1.1.    Latar belakang masalah
Sampai abad XI filsafat yang berkembang di dunia Islam bercorak Peripatetis (masysya’i) Neo-Platonisme yang mencapai puncak kejayaannya di tangan Ibn Sina dan para pengikutnya. Tetapi pada masa Dinasti Saljuk yang ditandai dengan perkembangan Madrasah Nizamiyah, posisi filsafat digantikan oleh ilmu kalam, teutama setelah Al-Ghazali menyerang filsafat lewat bukunya Tahafut al-Falasifah. Sejak itu tradisi filsafat di dunia Islam timur yang berada di bawah pengaruh Sunni, mengalami kelesuan, kalau tidak dikatakan hampir mati. Namun di dunia Islam barat, tepatnya di Andalusia, filsafat masih terus hidup untuk beberapa lama di tangan Ibn Rusyd. Bersamaan dengan itu, sebenarnya di dunia Islam timur, yang berada di bawah pengaruh Syi’ah, tradisi intelektual masih tetap hidup, khususnya di Persia.
Pembentukan tradisi pemikiran Islam bercorak Syi’ah dan kemunculan tokoh-tokoh  yang  berusaha membuat sintesa atau harmonisasi antara berbagai aliran pemikiran Islam, merupakan dua fenomena penting sebelum kemunculan Mulla Shadra. Ketika Mulla Shadra muda datang ke Isfahan, ia memasuki dunia intelektual yang matang dan memiliki akar sejarah yang panjang. Mulla Shadra mewarisi Khazanah intelektual itu dan mengetahui secara mendalam ajaran, pendekatan dan masalah-masalah setiap aliran pemikiran. Akhirnya, dengan penghayatannya yang mendalam tentang tradisi pemikiran Islam sebagai perspektif intelektual yang terus hidup dan berkembang dan kesungguhannya dalam memahami keterkaitan doktrin antar aliran pemikiran Islam, Mulla Shadra berusaha membentuk suatu sintesis dalam dimensi yang baru, yang dinamakan al-Hikmah al-Muta’aliyah. Sintesis yang dilakukan oleh Mulla Shadra  bukanlah sekedar menggabungkan  teori atau gagasan  pemiikiran Islam, melainkan meramunya dalam perspektif yang belum pernah ada sebelumnya.



1.2.  Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang seperti diatas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
  1. Bagaimanakah pengertian Hikmah muta’aliyah  ?
  2. Siapa saja tokoh aliran Hikmah Muta’aliyah?



BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Filsafat Islam
Secara etimologis, filsafat diambil dari bahasa Arab, falsafah-berasal dari bahasa Yunani, Philosophia, kata majemuk yang berasal dari kata Philos yang artinya cinta atau suka, dan kata Sophia yang artinya bijaksana. Dengan demikian secara etimologis, filsafat memberikan pengertian cinta kebijaksanaan.
Secara terminologis, filsafat mempunyai arti yang bermacam-macam, sebanyak orang yang memberikan pengertian. Berikut ini dikemukakan beberapa definisi tersebut :
1.      Plato (477 SM-347 SM). Ia seorang filsuf Yunani terkenal, gurunya Aristoteles, ia sendiri berguru kepada Socrates. Ia mengatakan bahwa filsafat adalah pengetahuan tentang segala yang ada, ilmu yang berminat untuk mencapai kebenaran yang asli.
2.      Aristoteles (381SM-322SM), mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu yang meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu; metafisika, logika, etika, ekonomi, politik, dan estetika.
3.      Marcus Tulius Cicero (106SM-43SM), seorang politikus dan ahli pidato Romawi merumuskan filsafat sebagai pengetahuan tentang sesuatu yang maha agung dan usaha-usaha untuk mencapainya.
4.      Al-Farabi (wafat 950M), seorang filsuf muslim mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam maujud dan bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya.[[1]]
 Jadi, filsafat ialah daya upaya manusia dengan akal budinya untuk memahami secara radikal dan integral serta sistematik mengenai ketuhanan, alam semesta dan manusia.

2.2.    Pengertian Hikmah Muta’aliyah
Aliran Filsafat hikmah muta’aliyah (filsafat/teosofi transenden), diwakili oleh seorang filosof Syi’ah abad ketujuh belas, Shadr al-Din al-Syirazi (w. 1641), yang lebih dikenal dengan nama Mulla Shadra. Mulla Shadra adalah seorang filosof yang telah berhasil mensintesiskan ketiga aliran filsafat yang telah didiskusikan pada pada fasal-fasal sebelum ini yaitu Peripatetik, Iluminasi dan ‘Irfani. Sesungguhnya bisa juga Mulla Shadra di masukkan ke kelompok madzhab Isfahani, yang dipimpin oleh Mir Damad (w.1631), dengan anggota-anggotanya antara lain Husain bin Abd al-Shamad al-‘Amili dan Mir Fendiriski.  Tetapi karena system filsafat Mulla Shadra jauh melampaui para filosof madzhab Isfahan termasuk gurunya Mir Damad, maka sejarawan filsafat Islam, lebih suka mengatagorikan Mulla Shadra dalam aliran tersendiri yang di sebut Hikmah Muta’aliyah, Atau aliran Hikmah saja.
Al-Hikmah al-Muta’aliyah bukan saja menampilkan sintesa pemikiran, tetapi juga memahkotai pemikiran itu dengan bukti-bukti nash, baik al-Qur’an maupun Hadis. Karena itu, memahami pemikiran Mulla Shadra, terutama karya monumentalnya tersebut, terlebih dahulu harus dipahami beberapa sumber pemikiran yang mengitarinya sebagaimana diutarakan di atas, meliputi :
1.      Filsafat Islam Peripatetis-Neo Platonisme yang dikembangkan oleh Ibn Sina dan para pendukungnya.
2.      Teosofi Isyraqi (Iluminasi) Suhrawardi dan para pengikutnya, seperti Qutb al-Din Syirazi dan Jalal al-Din Dawani
3.      Doktrin gnostis (irfan) Ibn Arabi dan mereka yang bertanggung jawab dalam penyebaran doktrin Ibn Arabi, seperti Sadr al-Din Qunyawi serta karya-karya tokoh sufi terkemuka, antara lain Ayn Qudat Hamadani dan Mahmud Syabistari.
4.      Ilmu Kalam Syi’ah Imamiyah
5.      Wahyu, termasuk di dalamnya sabda Nabi SAW. Dan para Imam Syi’ah.

2.3    Tokoh aliran hikmah muta’aliyah
2.3.1    Mulla shadra
1. Riwayat Hidup
Nama lengkapnya adalah Muhammad ibn Ibrahim Yahya Qawami Syirazi. Sering disebut Shadr al-Din al-Syirazi atau Akhund Mulla Shadra. Dikalangan murid-muridnya dikenal dengan Shadr al-Muti’allihin. Ia dilahirkan di Syiraz pada tahun 979/980 H atau 1571/1572 M dari sebuah keluarga terkenal lagi berpengaruh. Ayahnya pernah menjadi gubernur wilayah Fars. Status social keluarganya tersebut dan sebagai anak tunggal, ia berkesempatan memperoleh pendidikan yang baik dan penjagaan yang sempurna di kota kelahirannya
2.        Pendidikan
Dalam usia muda, Mulla Shadra melanjutkan studi ke Isfahan, sebuah pusat budaya yang penting untuk dunia timur Islam pada saat itu, ia berguru kepada teolog Baha’ al-Din al-‘amili (w.1031 H/1622 M), kemudian kepada filsuf peripatetic Mir Abu al-Qasim Fendereski (w. 1050 H/1641), tetapi gurunya yang paling utama adalah seorang filsuf-teolog bernama Muhammad atau lebih dikenal dengan Mir Damad (w. 1041 H/1631 M), seorang penggagas berdirinya pusat kajian filsafat dan teologi yang kini dikenal sebagai “Aliran Isfahan”. Diceritakan, ketika Mir Damad membaca karya Mulla Shadra ia menangis saking gembira dan duka. Gembira karena mempunyai seorang murid sepintar Shadra, dan berduka karena beliau menyadari bahwa tulisan-tulisan Shadra akan menenggelamkan popularitasnya. Konon tulisan Shadra lebih mudah dipahami darpada tulisan Mir Damad.
3.        Karyanya
Menurut Tabataba’I sebagaimana dikutip Nasr, Karya Mulla Shadra tidak kurang dari 46 judul ditambah enam risalah yang dianggap karya Mulla Shadra. Tetapi Fazlur Rahman menyebutnya berjumlah 32 atau 33 risalah. Sebagian besar karya-karyanya tersebut telah dipublikasikan semenjak seperempat terakhir abad XIX. Hanya risalah-risalah kecil tertentu saja yang belum dipublikasikan.
Diantara karya-karya Mulla Shadra adalah :
1.      Al-Hikmah al-Muta’aliyah fi Asfar al-‘Aqliyah al-Arba’ah (Kebijaksanaan Transendental  tentang Empat Perjalanan Akal pada Jiwa) dikenal dengan judul Asfar (perjalanan). Kitab ini merupakan karya monumental, karena menjadi dasar bagi karya pendeknya dan juga sebagai risalah pemikiran pasca-Avicennian pada umumnya. Di dalamnya memuat symbol-smbol pengemaraan intelektual dan spiritual manusia kehadirat Tuhan.
2.      Al-Hasyr (Tentang Kebangkitan). Buku ini terdiri dari delapan bab yang membicarakan tentang hari kebangkitan, dan betapa semua benda termasuk barang tambang akan kembali kepada Allah.
3.      Al-Hikmah al-‘Arsyiyyah (Hikmah di turunkan dari ‘Arsy Ilahi). Buku ini memperbincangkan kebangkitan dan prihal nasib masa depan manusia sesudah mati. Buku ini menjadi sumber pertikaian hebat di kalangan aliran ilmu kalam di kemudian hari.
4.      Dll.



BAB IV
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari uraian singkat di atas kita ketahui bahwa Filsafat Islam bukan hanya percaya pada akal diskursif, tetapi juga percaya pada pengalaman mistik. Pengalaman mistik bukan hanya mungkin untuk diungkapkan secara diskursif-logis, melainkan harus diungkapkan seperti itu untuk keperluan. Menurut Mulla Shadra “wujud” hanyalah satu saja, sedangkan yang membedakan wujud-wujud yang beraneka bukanlah kewujudannya, tetapi “gradasi” mereka yang berbeda-beda.
Dengan Konsep “Trans-substansial movement” tidak sulit untuk mengatakan bahwa Mulla Shadra adalah seorang filosof proses, seperti halnya Whitehead di Barat. Demikian juga tidak sulit untuk melihat adanya ide/teori evolusi pada ajaran filosofis Mulla Shadra. Bahkan lebih dari teori evolusi Darwin, Mulla Shadra-seperti halnya Rumi- menjelaskan terjadinya evolusi pada tataran yang luas. Karena, bukan saja evolusi terjadi pada tataran biologis seperti pada teori Darwin, tetapi juga pada tataran kosmik, geologis, biologis dan bahkan imajinal dan spiritual.



DAFTAR PUSTAKA

1.      Mulyadi Kartanegara, Gerbang Kearifan Sebuah Pengantar Filsafat Islam,Lentera Hati, Jakarta, 2006
2.      Dr. Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1982




[1] The Liang Gee, Pengantar Filsafat Ilmu, (Jakarta: Liberti,1991), h.1

0 comments :

Posting Komentar