KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamin,
segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat
waktu. Shalawat dan salam tak lupa senantiasa kita sanjungkan kepada Nabi
Muhammad SAW yang kita harapkan syafa’atnya di yaumulqiyamah nanti, amin.
Penyusunan makalah ini dibuat guna memenuhi tugas Mata Kuliah Materi PAI
MTs,Tak lupa penulis mengucapkan terimakasih kepada berbagai
pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini
dan mendukung dalam penyelesaian makalah ini berjudul : “Fiqih “.
Penulis menyadari penyusunan
makalah ini jauh dari sempuna. Oleh sebab itu, penulis memohon kepada pembaca
atas kritik dan saran guna melengkapi makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dalam menambah
wawasan bagi pembaca dan penulis sendiri.
Wassalamu’alaikum
warahmatullahi wabarakatuh.
Pamekasan, 18 November 2014
Penulis,
KATA PENGANTAR ..................................................................................... i
DAFTAR ISI ..................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang.................................................................... 1
1.2. Rumusan masalah............................................................... 1
1.3
Tujuan Penulisan................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Pengertian ijtihad.................................................................................... 3
2.2 Pengertian hokum.................................................................................... 4
2.3. Kriteria mujtahid..................................................................................... 7
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ........................................................................................... 10
Daftar pustaka................................................................................................. 11
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang :
Ijtihad merupakan upaya untuk menggali suatu hukum yang
sudah ada pada zaman Rasulullah SAW. Hingga dalam perkembangannya,
ijtihad dilakukan oleh para sahabat, tabi’in serta masa-masa selanjutnya hingga
sekarang ini. Meskipun pada periode tertentu apa yang kita kenal dengan masa
taqlid, ijtihad tidak diperbolehkan, tetapi pada masa periode tertentu pula
(kebangkitan atau pembaharuan), ijtihad mulai dibuka kembali.
Karena tidak bisa dipungkiri, ijtihad adalah suatu
keharusan, untuk menanggapi tantangan kehidupan yang semakin kompleks problematikanya.
Sekarang, banyak ditemui perbedaan-perbedaan madzab dalam hukum Islam yang itu
disebabkan dari ijtihad.
Misalnya bisa dipetakan Islam kontemporer seperti Islam
liberal, fundamental, ekstrimis, moderat, dan lain sebagainya. Semuanya itu
tidak lepas dari hasil ijtihad dan sudah tentu masing-masing mujtahid berupaya
untuk menemukan hukum yang terbaik. Justru dengan ijtihad, Islam menjadi luwes,
dinamis, fleksibel, cocok dalam segala lapis waktu, tempat dan kondisi. Dengan
ijtihad pula, syariat Islam menjadi “tidak bisu” dalam menghadapi problematika
kehidupan yang semakin kompleks.
1.2. Rumusan masalah
1. Jelaskan pengertian ijtihad ?
2. Jelaskan Pengertian hukum
dan macam-macam hukum fiqih?
3. Apasaja Kriteria mujtahid ?
1.3 Tujuan
1. Kita dapat mengetahui apa yang dimaksud dengan Fiqih
2. Kita dapat
mengetahui apa yang dimaksud dengan ijtihad,
3. Kita dapat
mengetahui apa yang dimaksud dengan Hukum Islam,
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian ijtihad
Ijtihad berasal dari kata jahada. Artinya mencurahkan
segala kemampuan atau menanggung beban kesulitan. Menurut bahasa, ijtihad
adalah mencurahkan semua kemampuan dalam segala perbuatan. Dalam ushul fiqh,
para ulama ushul fiqh mendefinisikan ijtihad secara berbeda-beda. Misalnya Imam
as-Syaukani mendefinisikan ijtihad adalah mencurahkan kemampuan guna
mendapatkan hukum syara’ yang bersifat operasional dengan cara istinbat
(mengambil kesimpulan hukum.[1][1]
Sementara Imam al-Amidi mengatakan bahwa ijtihad adalah
mencurahkan semua kemampuan untuk mencari hukum syara’ yang bersifat dhonni,
sampai merasa dirinya tidak mampu untuk mencari tambahan kemampuannya itu.[2][2] Sedangkan imam al-Ghazali
menjadikan batasan tersebut sebagai bagian dari definisi al-ijtihad attaam
(ijtihad sempurna).
Imam Syafi’I menegaskan bahwa seseorang tidak boleh
mengatakan tidak tahu terhadap permasalahan apabila ia belum melakukan dengan
sungguh-sungguh dalam mencari sumber hukum dalam permasalahan tersebut.
Demikian juga, ia tidak boleh mengatakan tahu sebelum ia sungguh-sungguh
menggali sumber hukum dengan sepenuh tenaga. Imam Syafi-I hendak menyimpulkan
bahwa dalam berijtihad hendaklah dilakukan dengan sungguh-sungguh. Artinya,
mujtahid juga harus memiliki kemampuan dari berbagai aspek criteria seorang
mujtahid agar hasil ijtihadnya bisa menjadi pedoman bagi orang banyak.
Ahli ushul fiqh menambahkan kata-kata al-faqih dalam
definisi tersebut sehingga definisi ijtihad adalah pencurahan seorang faqih
akan semua kemampuannya. Sehingga Imam Syaukani memberi komentar bahwa
penambahan faqih tersebut merupakan suatu keharusan. Sebab pencurahan
yang dilakukan oleh orang yang bukan faqih tidak disebut ijtihad menurut
istilah.[3][3]
Dalam definisi lain, dikatakan bahwa ijtihad yaitu
mencurahkan seluruh kemampuan untuk menetapkan hukum syara’ dengan jalan
istinbat (mengeluarkan hukum) dari Kitabullah dan Sunah Rasul. Menurut kelompok
mayoritas, ijtihad merupakan pengerahan segenap kesanggupan dari seorang ahli
fiqih atau mujtahid untuk memperoleh pengertian terhadap sesuatu hukum syara’.
Jadi, yang ingin dicapai oleh ijtihad yaitu hukum Islam yang berhubungan dengan
tingkah laku dan perbuatan orang-orang dewasa. Ulama telah bersepakat bahwa
ijtihad dibenarkan, serta perbedaan yang terjadi sebagai akibat ijtihad
ditolerir, dan akan membawa rahmat saat ijtihad dilakukan oleh yang memenuhi
persyaratan dan dilakukan di medannya (majalul ijtihad).[4][4]
2.2 Pengertian
hukum
Hukum Islam adalah sistem hukum yang bersumber
dari wahyu agama, sehingga istilah hukum Islam mencerminkan konsep yang jauh
berbeda jika dibandingkan dengan konsep, sifat dan fungsi hukum biasa. Seperti
lazim diartikan agama adalah suasana spiritual dari kemanusiaan yang lebih
tinggi dan tidak bisa disamakan dengan hukum. Sebab hukum dalam pengertian
biasa hanya menyangkut soal keduniaan semata.[5][5] Sedangkan Joseph Schacht mengartikan
hukum Islam sebagai totalitas perintah Allah yang mengatur kehidupan umat Islam
dalam keseluruhan aspek menyangkut penyembahan dan ritual, politik dan hukum.[6][6]
Terkait tentang sumber hukum, kata-kata sumber hukum Islam
merupakan terjemahan dari lafazh Masadir al-Ahkam. Kata-kata tersebut tidak
ditemukan dalam kitab-kitab hukum Islam yang ditulis oleh ulama-ulama fikih dan
ushul fikih klasik. Untuk menjelaskan arti sumber hukum Islam, mereka
menggunakan al-adillah al-Syariyyah. Penggunaan mashadir al-Ahkam
oleh ulama pada masa sekarang ini, tentu yang dimaksudkan adalah searti dengan
istilah al-Adillah al-Syar’iyyah.
Yang dimaksud Masadir al-Ahkam adalah dalil-dalil hukum
syara yang diambil (diistimbathkan) daripadanya untuk menemukan hukum. Sumber
hukum dalam Islam, ada yang disepakati (muttafaq) para ulama dan ada yang masih
dipersilisihkan (mukhtalaf). Adapun sumber hukum Islam yang disepakati jumhur
ulama adalah Al Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Para Ulama juga sepakat dengan
urutan dalil-dalil tersebut di atas (Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas).
Sedangkan sumber hukum Islam yang masih diperselisihkan di
kalangan para ulama selain sumber hukum yang empat di atas adalah istihsan,
maslahah mursalah, istishab, ‘uruf, madzhab as-Shahabi, syar’u man qablana.
Dengan demikian, sumber hukum Islam berjumlah sepuluh, empat
sumber hukum yang disepakati dan enam sumber hukum yang diperselisihkan. Wahbah
al-Zuhaili menyebutkan tujuh sumber hukum yang diperselisihkan, enam sumber
yang telah disebutkan di atas dan yang ketujuh adalah ad-dzara’i. Sebagian
ulama menyebutkan enam sumber hukum yang masih diperselisihkan itu sebagai
dalil hukum bukan sumber hukum, namun yang lainnya menyebutkan sebagai metode
ijtihad.
Hukum Islam[7][7] mengalami perkembangan yang pesat di
periode Nabi Muhammad di mana tradisi Arab pra-Islam yang berhubungan dengan
akidah dihilangkan, sedangkan tradisi lokal Arab yang berhubungan dengan
muamalah–sejauh masih sejalan dengan nilai-nilai Islam, dipertahankan dan
diakulturasikan. Namun dalam perjalanannya, hukum Islam mengalami pergolakan dan
kontroversi yang luar biasa ketika dihadapkan dengan kondisi sosio-kultural
dalam dimensi tempat dan waktu yang berbeda. Menurut hemat penulis, hukum Islam meliputi syariat
(al-Qur’an dan sunnah) sebagai sumber primer dan fiqh yang diambil dari syariat
yang pada dasarnya digunakan sebagai landasan hukum.[8][8]
Adapun spesifikasi dari macam-macam hukum Islam, fuqaha
memberi formulasi di antaranya wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah.
a. Wajib
Ulama memberikan banyak pengertian mengenainya, antara lain
suatu ketentuan agama yang harus dikerjakan kalau tidak berdosa. Atau Suatu
ketentuan jika ditinggalkan mendapat adzab. Contoh, Shalat subuh
hukumnya wajib, yakni suatu ketentuan dari agama yang harus dikerjakan, jika
tidak berdosalah ia. Alasan yang dipakai untuk menetapkan pengertian diatas
adalah atas dasar firman Allah swt: Dirikanlah shalat dari tergelincir matahari
sampai malam telah gelap dan bacalah Al Qur’an di waktu Fajar, sesungguhnya
membaca Al Qur’an di waktu Fajar disaksikan (dihadiri oleh Malaikat yang
bertugas di malam hari dan yang bertugas di siang hari).
b. Sunnah
Suatu perbuatan jika dikerjakan akan mendapat pahala, dan
jika ditinggalkan tidak berdosa. Atau bisa anda katakan sebagai suatu
perbuatan yang diminta oleh syari’ tetapi tidak wajib, dan meninggalkannya
tidak berdosa.
c. Haram
Suatu ketentuan larangan dari agama yang tidak boleh dikerjakan. Kalau orang melanggarnya, berdosalah orang itu.
Suatu ketentuan larangan dari agama yang tidak boleh dikerjakan. Kalau orang melanggarnya, berdosalah orang itu.
d. Makruh
Arti makruh secara bahasa adalah dibenci. Suatu ketentuan
larangan yang lebih baik tidak dikerjakan dari pada dilakukan. Atau
meninggalkannya lebih baik dari pada melakukannya.
e. Mubah
Arti mubah itu adalah dibolehkan atau sering kali juga
disebut halal. Satu perbuatan yang tidak ada ganjaran atau siksaan bagi orang
yang mengerjakannya atau tidak mengerjakannya atau segala sesuatu yang
diidzinkan oleh Allah untuk mengerjakannya atau meninggalkannya tanpa dikenakan
siksa bagi pelakunya.
2.3. Kriteria mujtahid
Seseorang yang menggeluti bidang fiqh tidak bisa sampai ke
tingkat mujtahid kecuali dengan memenuhi beberapa syarat, sebagian persyaratan
itu ada yang telah disepakati, dan sebagian yang lain masih diperdebatkan.
Adapun syarat-syarat yang telah disepakati adalah:
a. Mengetahui
al-Quran
Al-Qur’an adalh sumber hukum Islam primer di mana sebagai
fondasi dasar hukum Islam. Oleh karena itu, seorang mujtahid harus mengetahui
al-Qur’an secara mendalam. Barangsiapa yang tidak mengerti al-Qur’an sudah
tentu ia tidak mengerti syariat Islam secara utuh. Mengerti al-Qur’an tidak
cukup dengan piawai membaca, tetapi juga bisa melihat bagaimana al-Qur’an
memberi cakupan terhadap ayat-ayat hukum. Misalnya al-Ghazali memberi syarat
seorang mujtahid harus tahu ayat-ayat ahkam berjumlah sekitar 500 ayat.
- Mengetahui
Asbab al-nuzul
Mengetahui sebab turunnya ayat termasuk dalam salah satu
syarat mengatahui al-Qur’an secara komprehensif, bukan hanya pada tataran teks
tetapi juga akan mengetahui secara sosial-psikologis. Sebab dengan mengetahui
sebab-sebab turunnya ayat akan memberi analisis yang komprehensif untuk
memahami maksud diturunkannya teks Quran tersebut kepada manusia.
Imam
as-Syatibi dalam bukunya al-Muwafaqaat mengatakan bahwa mengetahui sebab
turunnya ayat adalah suatu keharusan bagi orang yang hendak memahami al-Qur’an.
Pertama, suatu pembicaraan akan berbeda pengertiannya menurut perbedaan
keadaan. Kedua, tidak mengetahui sebab turunnya ayat bisa menyeret dalam
keraguan dan kesulitan dan juga bisa membawa pada pemahaman global terhadap
nash yang bersifat lahir sehingga sering menimbulkan perselisihan.[9][9]
- Mengetahui nasikh dan mansukh
Pada
dasarnya hal ini bertujuan untuk menghindari agar jangan sampai berdalih
menguatkan suatu hukum dengan ayat yang sebenarnya telah dinasikhkan dan tidak
bisa dipergunakan untuk dalil.
b. Mengetahui as-sunnah
Syarat mujtahid selanjutnya adalah ia harus mengetahui
as-Sunnah. Yang dimaksudkan as-Sunnah adalah ucapan, perbuatan atau ketentuan
yang diriwayatkan dari Nabi SAW.
- Mengetahui
ilmu diroyah hadits
Ilmu
diroyah menurut al-Ghazali adalah mengetahui riwayat dan memisahkan hadis yang
shahih dari yang rusak dan hadis yang bisa diterima dari hadis yang ditolak.
Seorang mujtahid harus mengetahui pokok-pokok hadis dan ilmunya, mengenai ilmu
tentang para perawi hadis, syarat-syarat diterima atau sebab-sebab ditolaknya
suatu hadis, tingkatan kata dalam menetapkan adil dan cacatnya seorang perawi
hadis, dan lain hal-hal yang tercakup dalam ilmu hadis, kemudian
mengaplikasikan pengetahuan tadi dalam menggunakan hadis sebagai dasar hukum.
- Mengetahui hadis yang
nasikh dan mansukh
Mengetahui
hadis yang nasikh dan mansukh ini dimaksudkan agar seorang mujtahid jangan
sampai berpegang pada suatu hadis yang sudah jelas dihapus hukumnya dan tidak
boleh dipergunakan. Seperti hadis yang membolehkan nikah mut’ah di mana hadis
tersebut sudah dinasakh secara pasti oleh hadis-hadis lain.
- Mengetahui asbab
al-wurud hadis
Syarat ini
sama dengan seorang mujtahid yang seharusnya menguasai asbab al-nuzul, yakni
mengetahui setiap kondisi, situasi, lokus, serta tempus hadis tersebut ada.
c. Mengetahui bahasa Arab
Seorang mujtahid wajib mengetahui bahasa Arab dalam rangka
agar penguasaannya pada objek kajian lebih mendalam, teks otoritatif Islam
menggunakan bahasa Arab. Hal ini tidak lepas dari bahwa teks otoritatif Islam
itu diturunkan menggunakan bahasa Arab.
d. Mengetahui tempat-tempat
ijma’
Bagi seorang mujtahid, harus mengetahui hukum-hukum yang
telah disepakati oleh para ulama, sehingga tidak terjerumus memberi fatwa yang
bertentangan dengan hasil ijma’. Sebagaimana ia harus mengetahui nash-nash
dalil guna menghindari fatwa yang berseberangan dengan nash tersebut.
Namun menurut hemat penulis, seorang mujtahid bisa bertentangan dengan ijma’
para ulama selama hasil ijtihadnya maslahat bagi manusia.
e. Mengetahui ushul fiqh
Di antara ilmu yang harus dikuasai oleh mujtahid adalah ilmu
ushul fiqh, yaitu suatu ilmu yang telah diciptakan oleh para fuqaha utuk
meletakkan kaidah-kaidah dan cara untuk mengambil istimbat hukum dari nash dan
mencocokkan cara pengambilan hukum yang tidak ada nash hukumnya. Dalam ushul fiqh,
mujtahid juga dituntut untuk memahami
qiyas sebagai modal pengambilan ketetapan hukum.
f. Mengetahui maksud dan tujuan
syariah
Sesungguhnya syariat Islam diturunkan untuk melindungi dan
memelihara kepentingan manusia. Pemeliharaan ini dikategorikan dalam tiga
tingkatan maslahat, yakni dlaruriyyat (apabila dilanggar akan mengancam jiwa,
agama, harta, akal, dan keturunan), hajiyyat (kelapangan hidup, missal memberi
rukshah dalam kesulitan), dan tahsiniat (pelengkap yang terdiri dari kebiasaan
dan akhlak yang baik).
g. Mengenal manusia dan
kehidupan sekitarnya
Seorang mujtahid harus mengetahui tentang keadaan zamannya,
masyarakat, problemnya, aliran ideologinya, politiknya, agamanya dan mengenal
hubungan masyarakatnya dengan masyarakat lain serta sejauh mana interaksi
saling mempengaruhi antara masyarakat tersebut.
h. Bersifat adil dan taqwa
Hal ini bertujuan agar produk hukum yang telah
diformulasikan oleh mujtahid benar-benar proporsional karena memiliki sifat
adil, jauh dari kepentingan politik dalam istinmbat hukumnya.
i. Adapun ketentuan-ketentuan
yang masih dipersilihkan adalah mengetahui ilmu ushuluddin, ilmu mantiq, dan
mengetahui cabang-cabang fiqh.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Ijtihad adalah sebuah usaha yang dilakukan dengan
sungguh-sungguh dengan berbagai metode yang diterapkan beserta syarat-syarat
yang telah ditentukan untuk menggali dan mengetahui hukum Islam untuk kemudian
diimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat. Tujuan ijtihad dilakukan
adalah upaya pemenuhan kebutuhan akan hukum karena permasalahan manusia semakin
hari semakin kompleks di mana membutuhkan hukum Islam sebagai solusi terhadap
problematika tersebut. Jenis-jenis ijtihad adalah ijma’, qiyas, istiqsan,
maslahah mursalah, istishab, syar’u man qoblana, ‘urf, dan lain sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mukti, Ijtihad dalam
Pandangan Muhammad Abduh, Ahmad Dakhlan, dan
Muhammad
Iqbal, Jakarta:
PT Bulan Bintang, 1990
Basyir, Ahmad Azhar, dkk, Ijtihad
dalam Sorotan, Bandung: Penerbit Mizan,
1988
Lismanto dalam Pembaharuan Hukum
Islam Berbasis Tradisi: Upaya Meneguhkan Universalitas Islam dalam Bingkai
Kearifan Lokal
Qardawi,Yusuf, Ijtihad
dalam Syariat Islam, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1987
Ramadan, Said, Islamic Law,
It’s Scope and Equity, alih bahasa Badri Saleh dengan judul Keunikan
dan Keistimewaan Hukum Islam (Jakarta: Firdaus, 1991)
Schacht, Joseph, An Introduction To Islamic Law (Oxford: The Clarendon Press,
1971)
Syafe’i, Rachmat dalam Ilmu
Ushul Fiqih
Zuhri, Saifudin, Ushul Fiqh: Akal
Sebagai Sumber Hukum Islam, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2009
[1]
Irsyad
al-Fuhul dalam Yusuf Qardawi, Ijtihad dalam Syariat Islam,
Jakarta: PT Bulan Bintang, 1987, hal. 2.
[2] Al-Amidi, al-ihkam
fi ushul al-ahkam, dalam Yusuf Qardawi, Ijtihad dalam Syariat Islam,
Jakarta: PT Bulan Bintang, 1987, hal. 2.
[5] Said Ramadan, Islamic Law, It’s Scope and Equity,
alih bahasa Badri Saleh dengan judul Keunikan dan Keistimewaan Hukum Islam
(Jakarta: Firdaus, 1991), hal. 7.
[7] Penulis akan menggunakan redaksi “hukum Islam” sebagai
keseluruhan hukum syari’at yang sifatnya hukum Tuhan (devine law) dan
fiqih yang sifatnya profan (proses ijtihad ulama fuqaha dari syari’at itu
sendiri). Sikap ini berbeda dengan pandangan Joseph Schacht yang mengidentikkan
hukum Islam (the law of Islam) dengan syari’at, dan berbeda dengan Hasbi
Ashshiddieqy yang mendekatkan hukum Islam dengan fiqih. Hukum Islam dalam makalah ini mencakup kedua-duanya, yakni syari’at dan fiqih.
[8] Lismanto
dalam Pembaharuan Hukum Islam Berbasis Tradisi: Upaya Meneguhkan
Universalitas Islam dalam Bingkai Kearifan Lokal