BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Amal yang pasti diterima adalah yang dikerjakan dengan ikhlas. Amal hanya
karena Allah semata, dan tidak ada harapan kepada makhluk sedikit pun. Niat
ikhlas bisa dilakukan sebelum amal dilakukan, bisa juga disaat melakukan amal
atau setelah amal dilakukan. Salah satu karunia Allah yang harus disyukuri
adalah adanya kesempatan untuk beramal. Menjadi jalan kebaikan dan memberikan
manfaat kepada orang lain. Karenanya, jangan pernah menunda kebaikan ketika
kesempatan itu datang. Lakukan kebaikan semaksimal mungkin dan lupakan jasa
yang sudah dilakukan. Serahkan segalanya hanya kepada Allah. Itulah aplikasi
dari amal yang ikhlas.
Ketika orang lain merasakan manfaat dari amal yang kita perbuat, maka
yakinilah bahwa tidak ada perlunya kita membanggakan diri karena merasa
berjasa. Itu semua hanya akan menghapus nilai pahala dari amal yang diperbuat.
Setiap kebaikan yang kita lakukan mutlak karunia dari Allah, yang menghendaki
kita terpilih agar bisa melakukan amal baik tersebut. Sekiranya Allah
menakdirkan kita bisa bersedekah kepada anak yatim, itu berarti kita harus
bersyukur telah menjadi jalan sampainya hak anak yatim. Tidak perlu merasa
berjasa karena hakekatnya kita hanyalah perantara hak anak yatim itu, lewat
harta, tenaga dan kekuasaan yang Allah titipkan kepada kita.
Selain itu, hindari sifat ’merasa’ lebih dari yang lain. Merasa pintar,
merasa berjasa, merasa dermawan, apalagi merasa shaleh, seakan-akan surga dalam
genggamannya. Semua yang kita miliki adalah titipan yang Allah karuniakan
kepada kita untuk dipergunakan sebagai sarana penghambaan kepada-Nya.
Berkaitan dengan suatu perbuatan, Islam sangat menekankan pentingnya motif
dan tujuan dari seorang yang melakukan perbuatan tersebut tidak cukup hanya
bentuk lahiriahnya saja. Dalam hal ini dapat diibaratkan bahwa setiap perbuatan
itu ada badan dan ruhnya. Badannya adalah bentuk luar yang terlihat dan
terdengar, sedangkan ruhnya adalah niat yang mendorong dilakukannya perbuatan
itu dan jiwa ikhlas yang mendorong terciptanya perbuatan tersebut. Bagi
golongan ahli hakikat (tasawuf), ikhlas merupakan syarat sahnya suatu ibadah.
Dengan demikian, diterima atau tidaknya suatu perbuatan sangat tergantung
kepada niat yang melakukannya.
Sedemikian pentingnya kedudukan ikhlas dalam amal ibadah, sehingga dalam
al-Qur’an sendiri sebagai sumber utama dalam ajaran Islam-terdapat banyak ayat
yang membicarakan masalah ikhlas dalam berbagai aspeknya. Oleh karena itu,
sesuai dengan tema yang telah ditentukan, kajian dalam tulisan ini akan
berupaya memaparkan konsep ikhlas
B. Rumusan Masalah
1.
Apa
pengertian Ikhlas ?
2.
Bagaimana
ayat yang menerangkan Ikhlas ?
3.
Bagaimana
perbedaan ikhlasnya orang zaman dulu dengan sekarang ?
4.
Bagaimana
balasan orang yang tidak Ikhlas ?
C. Tujuan Masalah
1.
Mengetahui
pengertian Ikhlas.
2.
Mengetahui
ayat-ayat yang menerangkan ikhlas.
3.
Mengetahui
perbedaan ikhlasnya orang zaman dulu dengan sekarang.
4.
Mengetahui
balasan orang yang tidak Ikhlas.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ikhlas
Secara etimologis, kata ikhlas merupakan bentuk mashdar dari kata akhlasha
yang berasal dari akar kata khalasha. Menurut Luis Ma’luuf, kata khalasha ini
mengandung beberapa macam arti sesuai dengan konteks kaliamatnya. Ia bisa
berarti shafaa (jernih), najaa wa salima (selamat), washala (sampai), dan
I’tazala (memisahkan diri).
Maksudnya, didalam menjalankan amal ibadah apa saja harus disertai dengan niat
yang ikhlas tanpa pamrih apapun.[1][1]
Bila diteliti lebih lanjut, kata ikhlas sendiri sebenarnya tidak dijumpai
secara langsung penggunaannya dalam al-Qur’an. Yang ada hanyalah kata-kata yang
berderivat sama dengan kata ikhlas tersebut. Secara keseluruhan terdapat dalam
tiga puluh ayat dengan penggunaan kata yang beragam. Kata-kata tersebut antara
lain : kata khalashuu, akhlashnaahum, akhlashuu, astakhlish, al-khaalish, dan
khaalish masing-masing sebanyak satu kali. Selanjutnya kata khaalishah lima
kali, mukhlish (tunggal) tiga kali, mukhlishuun (jamak) satu kali, mukhlishiin
(jamak) tujuh kali, mukhlash (tunggal) satu kali, dan mukhlashiin (jamak)
sebanyak delapan kali.
Selanjutnya, ditinjau dari segi makna, term ikhlas dalam al-Qur’an juga
mengandung arti yang beragam. Dalam hal ini al-Alma’i merinci pemakaian term
tersebut kepada empat macam :
Pertama, ikhlas berarti al-ishthifaa’ (pilihan)
seperti pada surat Shaad : 46-47. Di sini al-Alma’i mengutip penafsiran dari Ibn
al-Jauzi terhadap ayat tersebut yang intinya bahwa Allah telah memilih mereka
dan menjadikan mereka orang-orang yang suci. Penafsiran yang sama juga
dikemukakan oleh al-Shaabuuni dalam tafsirnya Shafwah al-Tafaasiir, yakni “Kami
(Allah) istimewakan mereka dengan mendapatkan kedudukan yang tinggi yaitu
dengan membuat mereka berpaling dari kehidupan duniawi dan selalu ingat kepada
negeri akhirat.” Dengan demikian terdapat kaitan yang erat (munaasabah) antara
ayat 46 dengan 47, yakni ayat yang sesudahnya menafsirkan ayat yang sebelumnya.
Kedua, ikhlas berarti al-khuluus min al-syawaa’ib (suci
dari segala macam kotorn), sebagaimana tertera dalam surat an-Nahl : 66 yang
membicarakan tentang susu yang bersih yang berada di perut binatang ternak,
meskipun pada mulanya bercampur dengan darah dan kotoran ; kiranya dapat
dijadikan pelajaran bagi manusia. Makna yang sama juga terdapat dalam surat
al-zumar : 3, walaupun dalam konteks yang berbeda. Dalam ayat tersebut
dibicarakan tentang agama Allah yang bersih dari segala noda seperti syirik,
bid’ah dan lain-lain.
Ketiga, ikhlas berarti al-ikhtishaash (kekhususan), seperti
yang terdapat pada surat al-Baqarah : 94, al-An’am : 139, al-A’raf : 32, Yusuf
: 54, dan al-Ahzab : 32.
Keempat, ikhlas berarti al-tauhid (mengesakan)
dan berarti al-tathhir (pensucian) menurut sebagian qira’at. Ikhlas dalam
artian pertama inilah yang paling banyak terdapat dalam al-Qur’an, antara lain
terdapat dalam surat al-Zumar : 2,11,14, al-Baqarah : 139, al-A’raf : 29, Yunus
: 22, al-Ankabut : 65, Luqmaan : 32, Ghaafir : 14,65, an-Nisaa : 146, dan
al-Bayyinah : 5. Dalam ayat-ayat tersebut, kata-kata yang banyak digunakan
adalah dalam bentuk isim fa’il (pelaku), seperti mukhlish (tunggal) dan
mukhlishuun atau mukhlshiin (jamak). Secara leksikal kata tersebut dapat
diartikan dengan al-muwahhid (yang mengesakan). Dalam konteks inilah kiranya
surat ke-112 dalam al-Qur’an dinamakan surat al-ikhlaas, dan kalimat tauhid
(laa ilaaha illa Allah) disebut kalimat al-ikhlas. Dengan demikian makna ikhlas
dalam ayat-ayat di atas adalah perintah untuk selalu mengesakan Allah dalam
beragama, yakni dalam beribadah, berdo’a dan dalam perbuatan taat lainnya harus
dikerjakan semata-mata karena Allah; bukan karena yang lain. Itulah sebabnya
mengapa term ikhlas pada ayat-ayat di atas selalu dikaitkan dengan al-diin.
Adapun ikhlas dalam arti yang kedua (al-tathhiir) ditujukan kepada
orang-orang yang telah disucikan Allah hatinya dari segala noda dan dosa
sehingga mereka menjadi hamba Allah yang bersih dan kekasih pilihan-Nya. Hal
ini seperti yang tercantum dalam surat Yusuf : 24, al-Hijr : 40, al-shaffat :
40,74,128,166,169, Shaad : 83, dan surat Maryam : 51. Pada ayat-ayat tersebut
semuanya memakai kata mukhlashiin (jamak) kecuali surat Maryam : 51 yang memakai
bentuk tunggal (mukhlash). Selain itu semua kata mukhlashiin dalam ayat-ayat
tersebut selalu dikaitkan dengan kata ibaad (hamba).
B. Ayat-ayat Yang Menerangkan Ikhlas
1. QS. al-Bayyinah: 5
!$tBur (#ÿrâÉDé&
wÎ)
(#rß0ç6÷èu9Ï9 ©!$#
tûüÅÁÎ=øèC ã&s!
tûïÏe$!$# uä!$xÿuZãm
(#qßJ9É)ãur
no4qn=¢Á9$# (#qè?÷sãur no4qx.¨ 9$# 4 y7Ï9ºsur ß`Ï ÏpyJÍhs)ø9$# ÇÎÈ
“Padahal
mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan
(mengikhlaskan) ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan
supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah
agama yang lurus”
2. QS. Yunus : 105
÷br&ur óOÏ%r&
y7ygô_ur
ÈûïÏe$#Ï9 $Zÿ9ÏZym
wur
¨ûsðqä3s? ÆÏB
úüÏ.Îô³ßJø9$# ÇÊÉÎÈ
“dan
(aku telah diperintah): "Hadapkanlah mukamu kepada agama dengan tulus dan
ikhlas dan janganlah kamu Termasuk orang-orang yang musyrik”
3. QS. Al A’raaf : 29
ö@è% zsDr&
În1u
ÅÝó¡É)ø9$$Î/
( (#qßJÏ%r&ur
öNä3ydqã_ãr y0ZÏã Èe@à2 70Éfó¡tB
çnqãã÷$#ur úüÅÁÎ=øèC ã&s!
tûïÏe$!$# 4 $yJx. öNä.r&y0t/
tbrßqãès?
ÇËÒÈ
“Katakanlah:
"Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan". dan (katakanlah):
"Luruskanlah muka (diri)mu di Setiap sembahyang dan sembahlah Allah dengan
mengikhlaskan ketaatanmu kepada-Nya. sebagaimana Dia telah menciptakan kamu
pada permulaan (demikian pulalah kamu akan kembali kepadaNya)"”
4. QS. An Nisaa’ : 125
ô`tBur ß`|¡ômr&
$YYÏ
ô`£JÏiB zNn=ór&
¼çmygô_ur ¬!
uqèdur
Ö`Å¡øtèC
yìt7¨?$#ur
s'©#ÏB
zOÏdºtö/Î)
$Zÿ9ÏZym
3 x9sªB$#ur
ª!$#
zOÏdºtö/Î)
WxÎ=yz ÇÊËÎÈ
“dan
siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan
dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti
agama Ibrahim yang lurus? dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya”
Maksud dari ayat-ayat diatas ialah amal-amal ibadah
apa saja jika tidak dijiwai dengan ikhlas berarti tidak hidup, mati bagaikan
bangkai, tidak membawa manfaat sama sekali. Malah, maaf, menjijikkan seperti
bankai yang harus segera dikubur.[2][2]
C. Perbedaan Ikhlas
Zaman Dahulu dengan Zaman Sekarang
Ikhlas pada dasarnya adalah bersih hati, rela hati, atau tulus hati untuk
memberikan atau menyerahkan atau merelakan sesuatu yang dimiliki, entah itu
berupa tenaga, pikiran, uang atau dalam bentuk materi lainnya. Sesuai
dengan yang di kehendaki pemberi dan disesuaikan pula dengan kondisi yang
terjadi pada saat itu.
Ikhlas
dianjurkan oleh Allah SWT. kepada kita semua saat melakukan segala sesuatu, apalagi di dalam beramal saleh. Begitu pula
Nabi Muhammad saw. yang menyuruh umatnya untuk melandasi segala sesuatu pekerjaan atau kegiatan dengan tulus ikhlas.
Untuk lebih
mudahnya kita membayangkan sifat ikhlas itu bagaimana bentuknya dan bagaimana
cara melakukannya, kita bisa bayangkan hal berikut ini. Misalnya, dalam hal
pahlawan yang berjuang di medan pertempuran pada saat dulu. Kita pasti sudah
membaca buku-buku yang menerangkan bagaimana perjuangan pahlawan kita ketika
melawan penjajah di negeri ini.
Kita biasa
bayangkan, apabila para pahlawan ketika melawan para penjajah, tidak memiliki rasa
ikhlas didalam dirinya, mereka pasti tidak semangat di dalam melawan penjajah.
Bahkan, Mereka menjadi kalah dan kemerdekaan Indonesia tidak akan terwujud
sampai sekarang.
Kalau itu terjadi, kita sekarang tidak bisa menikmatai dunia dengan nyaman,
karena sewaktu-waktu kita bisa saja diserang oleh penjajah. Tapi, itu
semua tidak terjadi pada saat ini karena peran besar pahlawan zaman dulu yang
melandasi perjuangannya dengan ikhlas.
Tak heran
apabila kemudian, kemenangan diraih para pahlawan meski dengan senjata yang
sangat terbatas. Itu sudah membuktikan betapa dahsyatnya rasa ikhlas apabila
sudah ada di dalam diri seseorang.
Semangat yang di landasi rasa ikhlas itu akan dapat mengalahkan segala hal
yang berkaitan dengan kepentingan diri, yang kesemuanya berujung pada keegoisan
diri (keinginan untuk mewujudkan kepentingan dirinya sendiri). Sehingga,
dengan adanya semangat yang dilandasi rasa ikhlas itu, semua orang bisa
menikmati jasa besar atau perjuangan yang telah dilakukan para pahlawan, tidak
terkecuali diri kita. Itu merupakan manfaat besar dari sifat ikhlas. Mungkin,
kalau kita sering diajak kedua orang tua kita melihat berita di televisi, kita
bisa memandingkan sifat para pahlawan dengan sifat para pemimpin kita saat ini.
Coba kita bayangkan, para pemimpin yang katanya merupakan pahlawan rakyat,
justru semakin menyusahkan kehidupan rakyat.
Mereka
mendasari segala perilakunya dengan tidak ikhlas. Mereka hanya mengharapkan
imbalan ketika melakukan segala sesuatu. Sangat jauh dari pahlawan kita dulu,
yang tidak pernah mengharapkan imbalan apapun dari segala sesuatu yang
dilakukannya.
Akhirnya,
kita bisa merasakan saat ini. Saat ini kita sekolah saja sudah harus membayar
biaya yang tinggi. Bagi yang tidak mampu akhirnya tidak menyekolahkan anaknya
dan akibat dari itu kemiskinan semakin meningkat. Banyak pemimpin kita yang
melukukan korupsi, yang sama saja mencuri uang rakyat, tapi dengan cara yang
halus. Dari hal ini kita sudah bisa membayangkan bagaimana bentuk dari ikhlas
itu dan bagaimana pula dampaknya apabila sifat ikhlas itu tidak ada di dalam
diri orang masing-masing.
Kalau masih
belum paham juga wujud dari sifat ikhlas, mari simak contoh berikut yang lebih
mudah lagi. Ketika kita memberikan sedekah kepada pengemis yang meminta-minta
kepada diri kita, apa yang ada di dalam diri kita saat itu? Apabila kita tidak
ikhlas memberi uang tersebut, pasti kita akan berat memberikan uang tersebut
kepada pengemis itu, meskipun itu hanya bernilai sangat kecil bagi diri kita.
Bahkan, kita akan terus memikirkan uang yang sudah kita berikan pada pengemis
itu. Dalam setiap kesempatan, kita akan terbayang-bayang uang yang kita
berikan. Hal itu justru akan menyusahkan diri kita sendiri.
Coba kalau
kita ikhlas ketika memberi sedekah itu, kita pasti tenang dan tidak
terbayang-bayang dengan uang yang sudah kita keluarkan itu. Makanya, latihlah
diri untuk selalu memiliki sifat ikhlas ketika memberi apapun pada orang lain.
Apabila kita mendasari segala sesuatu yang kita lakukan dengan ikhlas, setelah
kita selesai melakukan perbuatan itu kita akan menjadi tenang. Dan tidak terus
berfikiran serta terbayang-bayang dengan apa yang sudah kita berikan atau kita
lakukan.
Kata ikhlas memang sudah biasa kita dengar, tapi pelaksanaannya secara
nyata belum banyak terlihat. kita pasti sudah seringkali mendengar ungkapan
“Dalam belajar atau menjalankan tugas, kita harus ikhlas”, dan “Perbuatan
ikhlas adalah perbuatan yang terpuji’. Selain itu, seringkali pula kita
dengar kalimat “Kita harus ikhlas melepas kepergiannnya untuk selamanya”.
Ungkapan
dalam kalimat tersebut menunjukkan bahwa ikhlas adalah suatu bentuk perbuatan
yang terpuji. Namun demikian, dalam prakteknya tidaklah semudah ketika kita
mengucapkannya.
Maka, tidaklah heran apabila kini belum belum banyak orang yang bisa
bersikap ikhlas, padahal dia sudah seringkali berkata “Akan melakukan segala
sesuatu dengan ikhlas”. mungkin dia sudah bisa bersikap ikhlas, tetapi rasa
ikhlas itu tidak sepenuhnya terwujud. Namun, hal itu lebih baik daripada
rasa ikhlas tersebut tidak ada sama sekali dalam diri seseorang. Ibaratnya,
rasa ikhlas itu bisa secara perlahan-lahan ditambah dan terus dipupuk dalam
dirinya. Sehingga, ketika melakukan segala sesuatu, dia bisa bersikap ikhlas
secara penuh dan tidak setengah-setengah.
Memang
terkadang seseorang menjadi tidak ikhlas karena tidak rela memberikan barang
atau sesuatu miliknya kepada orang lain, meskipun itu hanya sedikit. Atau
kadang ketidakikhlasan itu terwiujud karena ada rasa tidak senang kepada orang
lain dikarenakan dia pernah disakiti orang tersebut, sehingga ketika
membantunya, ia melakukannya dengan terpaksa dan bisa pula karena ingin dilihat
dan dipuji oleh orang lain. Sebetulnya banyak penyebab kilta menjadi tidak
ikhlas, tergantung diri orang masing-masing. , terutama sifat pribadi seseorang
itu sendiri.
Pada
dasarnya, ikhlas mengandung pengertian memurnikan tujuan untuk mendekatkan diri
kepada Allah SWT. dari berbagai pandangan dan keyakinan yang buruk dari pribadi
masing-masing. Ada juga yang berpendapat, kalau ikhlas itu adalah mereflesikan
atau memikirkan setiap tujuan semata hanya kepada Allah swt., bukan karena
pamer kepada orang lain atau ingin dipuji oleh orang lain dan teman-teman kita.
D. Balasan Orang yang Tidak Ikhlas
“Maksud
Hadis Nabi SAW: “Sesungguhnya manusia yang pertama dihisab pada hari kiamat
nanti adalah seseorang yang mati syahid, di mana dia dihadapkan dan
diperlihatkan kepadanya nikmat yang telah diterimanya serta ia pun mengakuinya,
kemudian ditanya: Apakah yang kamu gunakan terhadap nikmat itu? Ia menjawab:
Saya berjuang di jalan-Mu sehingga saya mati syahid. Allah berfirman: Kamu
dusta, kamu berjuang (dengan niat) agar dikatakan sebagai pemberani, dan hal
itu sudah terpenuhi. Kemudian Allah memerintahkan untuk menyeret orang tersebut
yang akhirnya dia dilemparkan ke An Nar (neraka).
Kedua,
seseorang yang belajar dan mengajar serta suka membaca Al Qur’an, dia
dihadapkan dan diperlihatkan kepadanya nikmat yang telah diterimanya serta ia
pun mengakuinya, kemudian ditanya: Apakah yang kamu gunakan terhadap nikmat
itu? Ia menjawab: Saya telah belajar dan mengajarkan Al Qur’an untuk-Mu. Allah
berfirman: Kamu dusta, kamu belajar Al Qur’an (dengan niat) agar dikatakan
sebagai orang yang alim (pintar), dan kamu membaca Al Qur’an agar dikatakan
sebagai seorang Qari’ (ahli membaca Al Qur’an), dan hal itu sudah terpenuhi.
Kemudian Allah memerintahkan untuk menyeret orang itu yang akhirnya dia dilemparkan
ke dalam An Nar (neraka).
Ketiga,
seseorang yang dilapangkan rezekinya dan dikurniai berbagai macam kekayaan,
lalu dia dihadapkan dan diperlihatkan kepadanya nikmat yang telah diterimanya
serta ia pun mengakuinya, kemudian ditanya: Apakah yang kamu gunakan terhadap
nikmat itu? Ia menjawab: Tidak pernah aku tinggalkan suatu jalan yang Engkau
sukai untuk berinfaq kepadanya, kecuali pasti aku akan berinfaq kerana Engkau.
Allah berfirman: Kamu dusta, kamu berbuat itu (dengan niat) agar dikatakan sebagai
orang yang dermawan, dan hal itu sudah terpenuhi. Kemudian Allah memerintahkan
untuk menyeret orang tersebut yang akhirnya dia dilemparkan ke dalam An Nar.”
(HR Muslim)
Demikianlah
ketiga orang yang beramal dengan amalan mulia tetapi tidak didasari keikhlasan
kepada Allah. Allah lemparkan mereka ke dalam An Nar (neraka). Semoga kita
termasuk orang-orang yang dapat mengambil pelajaran daripada kisah tersebut. “
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Secara etimologis, kata
ikhlas merupakan bentuk mashdar dari kata akhlasha yang berasal dari akar kata
khalasha. Menurut Luis Ma’luuf, kata khalasha ini mengandung beberapa macam
arti sesuai dengan konteks kaliamatnya. Ia bisa berarti shafaa (jernih), najaa wa salima (selamat), washala (sampai), dan I’tazala (memisahkan diri). Maksudnya, didalam menjalankan amal ibadah apa saja
harus disertai dengan niat yang ikhlas tanpa pamrih apapun.
tidaklah heran
apabila kini belum belum banyak orang yang bisa bersikap ikhlas, padahal dia
sudah seringkali berkata “Akan melakukan segala sesuatu dengan ikhlas”. mungkin
dia sudah bisa bersikap ikhlas, tetapi rasa ikhlas itu tidak sepenuhnya
terwujud. Namun, hal itu lebih baik daripada rasa ikhlas tersebut tidak ada sama
sekali dalam diri seseorang. Ibaratnya, rasa ikhlas itu bisa secara
perlahan-lahan ditambah dan terus dipupuk dalam dirinya. Sehingga, ketika
melakukan segala sesuatu, dia bisa bersikap ikhlas secara penuh dan tidak
setengah-setengah.
Dan
orang yang tidak ikhlas atau mengerjakan sesuatu bukan karna Allah dinamakan
musyrik yang akan disiksa didalam neraka.
B.
Saran
Mari kita sebagai makhluk ciptaan Allah
SWT kita usahakan ikhlas dalam beribadah kepada Allah SWT. Jangan sampi tergiur karna harta atau
yang lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Mohammad Ruhan
Sanusi, Kuliah wahidiyah, (jombang
: DPP PSW, 2010)
Syaikh
Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, Riyadhus Shalihin.
http://coretanbinderhijau.blogspot.com/2013/04/hadis-tentang-ikhlas-dan-keterangannya.html