KATA
PENGANTAR
Puji syukur senantiasa kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang
Maha Esa, karena atas rahmat dan izin-Nya kami diberikan kemudahan dan
kelancaran sehingga dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “ Sumber Hukuh Islam”.
Terima kasih juga kami ucapkan
kepada teman-teman, terutama kepada dosen mata kuliah “Pendidikan Agama Islam” Drs Agu
saki telah memberikan pengarahan kepada kami dalam membuat makalah ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat
kepada para pembacanya. Namun demikian, kami sangat menyadari bahwa dalam
penyajian makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami menerima
setiap kritik dan saran dari pembaca dengan tangan terbuka.
Terima kasih
Pamekasan,15 November 2014
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
sampul.................................................................................................. i
KATA
PENGANTAR........................................................................................ ii
DAFTAR ISI....................................................................................................... iii
DAFTAR ISI....................................................................................................... iii
BAB
I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah............................................................................ 1
B. Rumusan
Maslah....................................................................................... 1
BAB
II PEMBAHASAN
A.
Al-Qur’an.................................................................................................. 2
B.
As-Sunnah................................................................................................. 4
C.
Ijmak......................................................................................................... 7
BAB
III PENUTUP
A.
Kesimpulan................................................................................................ 9
B.
Saran.......................................................................................................... 9
DAFTAR
PUSTAKA......................................................................................... 10
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Al-Qur’an adalah kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad saw. Sedangkan hubungan al-Quran dengan ushul fiqih sangat erat dalam
menentukan dasar untuk menentukan hukum Islam (Dalil utama fiqih).
Selain Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam, juga terdapat
As-Sunnah dan juga Ijma’. As-Sunnah merupakan semua perbuatan,perkataan,
ataupun ketetapan Nabi Muhammad saw. Sedangkan Ijma’ merupakan sebuah
kesepakatan yang disepakati oleh para mujtahid umat Islam yang berupa perbuatan
setelah sepeninggal Rasulullah saw.
Al-Qur’an mempunyai kedudukan, dan fungsi yang sangat
penting bagi umat Islam itu sendiri.Begitu juga dengan As-Sunnah dan
Ijma’.Sebagai sumber hukum Islam setelah Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’ juga
memiliki kedudukan dan fungsi yang sangat penting bagi umat Islam.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa pengertian, kedudukan, dan
fungsi Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam ?
2. Apa pengertian, kedudukan, dan
fungsi As-Sunnah sebagai sumber hukum Islam ?
3. Apa pengertian, kedudukan, dan
fungsi Ijma’ sebagai sumber hukum Islam ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Al-Qur’an
1. Pengertian Al-Qur’an
Secara etimologis Al-Qur’an adalah bentuk mashdar dari kara
qara-a (قرأ) sewazan dengan kata fu’laan (فعلان ), artinya; bacaan, berbicara
tentang apa yang ditulis padanya; atau melihat dan menelaah. Dalam pengertian
ini, kata قرأن berarti مقروء, yaitu isim maf’ul (objek) dari قرأ.
Menurut istilah, Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang
berisi firman-firman Allah SWT yang diwahyukan dalam bahasa Arab kepada
rasul/nabi terakhir Nabi Muhammad saw., yang membacanya adalah ibadah.
Adapun pengertian Al-Qura’an menurut
para ahli, yaitu :
· Menurut Syaltut, Al-Qur’an adalah
lafaz Arabi yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, dinukilkan kepada kita
secara mutawatir.
· Al-Syaukani mengartikan Al-Qur’an
sebagai kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, tertulis dalam
mushhaf, dan dinukilkan secara mutawatir.
·
Defenisi Al-Qur’an yang dikemukakan
Abu Zahrah ialah, kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.
· Menurut Al-Sarkhisi, Al-Qur’an
adalah, kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw., ditulis dalam mushhaf,
diturunkan dengan huruf yang tujuh yang masyhur dan dinulikan secara mutawatir.
· Ibnu Subki mendefenisikan Al-Qur’an
sebagai lafaz yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw., mengandung mu’jizat
setiap suratnya, dan yang membacanya adalah ibadah.
Dari pendapat beberapa ahli di atas dapat disimpulkan
Al-Qur’an adalah sebuah kitab atau kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad saw., dengan lafaz arabi yang dinukilkan kepada kita secara mutawatir
dan yang membacanya adalah ibadah.
2. Kedudukan Al-Qur’an
Al-Qur’an sebagai kitab Allah SWT menempati posisi sebagai
sumber pertama dan utama dari seluruh ajaran Islam, sekaligus juga sebagai
dalil utama fiqih. Al-Qur’an juga membimbing dan memberikan petunjuk untuk
menemukan hukum-hukum yang terkandung dalam sebagian ayat-ayatnya.
Karena kedudukan Al-Qur’an itu sebagai sumber utama dan
pertama bagi penetapan hukum, maka apabila seseorang ingin menemukan hukum maka
dilakukan penyelesainnya terlebih dahulu berdasarkan dengan Al-Qur’an. Dan
apabila menggunakan sumber hukum lain di luar Al-Qur’an, maka harus sesuai dengan
petunjuk Al-Qur’an dan tidak boleh melakukan sesuatu yang bertentangan dengan
Al-Qur’an.
Hal ini berarati bahwa sumber-sumber hukum selain Al-Qur’an
tidak boleh menyalahi apa yang telah ditetapkan Al-Qur’an. Al-Qur’an juga
mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri, hubungan manusia dengan Allah
SWT, hubungan manusia dengan sesamanya, dan hubungan manusia dengan alam.
3. Fungsi Al-Qur’an
Al-Qur’an diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad saw., untuk
disampaikan kepada umat manusia bagi kemaslahatan dan kepentingan mereka,
khususunya umat mukminin yang percaya akan kebenarannya. Kemaslahatan itu
dapatmmendatangkan manfaat atau keberuntungan, maupun dalam bentuk melepaskan
manusia dari kemadaratan atau kecelakaan yang akan menimpanya.
Beberapa bentuk ungakapan dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang
menjelaskan fungsi turunnya Al-Qur’an kepada umat manusia adalah:
· Sebagai hudan atau petunjuk bagi
kehidupan umat.
· Sebagai rahmat atau keberuntungan
yang diberikan Allah dalam bentuk kasih sayangnya.
· Sebagai furqon yaitu pembeda antara
yang baik dan yang buruk, yang halal dan yang haram, yang dapat dilakukan dan
yang terlarang untuk dilakukan.
· Sebagai mau’idhoh atau pengajaran
yang akan mengajar dan membimning umat dalam kehidupannya untuk mendapatkan
kebahagiaan dunia dan akhirat.
· Sebagai Busyra yaitu berita gembira
bagi orang yang telahberbuat baik kepada Allah dan sesama manusia.
· Sebagai “Tibyan” atau “mubin” yang
berarti penjelasan atau menjelaskan terhadap segala sesuatu yang disampaikan
oleh Allah.
· Sebagai Mushoddiq atau pembenar
terhadap kitab yang datang sebelumnya (taurat, zabur, dan injil), ini berarti
bahwa Al-Qur’an memberikan pengakuan terhadap kebenaran ketiganya yang berasal
dari Allah.
· Sebagai Nur atau cahaya yang akan
menerangi kehidupan manusia dalam menempuh jalan menuju keselamatan.
· Sebagai Tafsil yaitu memberikan
penjelasan secara rinci sehingga dapat dilaksakan sesuai dengan yang
dikehendaki Allah.
· Sebagai Syifa’ual-shudur atau obat
bagi rohani yang sakit.
· Sebagai Hakim yaitu sumber
kebijaksanaan.
B.
As-Sunnah
1. Pengertian As-Sunnah
Kata “sunnah” (سنة ) berasal dari kata سن secara etimologis
berarti cara yang biasa dilakukan, apakah cara itu sesuatu yang baik, atau
buruk. Penggunan kata sunnah dalam arti ini terlihat dalam sabda Nabi :
“Siapa yang membuat Sunnah yang baik maka baginya pahala serta pahala orang yang mengerjakannya dan siapa yang membuat sunnah yang buruk, maka baginya siksaan serta siksaan orang yang mengerjakannya sampai hari kiamat”.
“Siapa yang membuat Sunnah yang baik maka baginya pahala serta pahala orang yang mengerjakannya dan siapa yang membuat sunnah yang buruk, maka baginya siksaan serta siksaan orang yang mengerjakannya sampai hari kiamat”.
Dalam Al-Qur’an terdapat kata “Sunah” dalam 16 tempat yang
tersebar dalam beberapa surat dengan arti “kebiasaan yang berlaku” dan “jalan
yang diikuti”. Umpamanya dalam firman Allah dalam surat Ali Imran (3): 137 :
“Sesungguhnya
telah berlaku sebelum kamu sunnah-sunnah Allah. Karena itu berjalanlah kamu di muka
bumi”.
Para ulama Islam mengutip kata Sunnah dari Al-Qur’an dan
bahasa Arab yang mereka gunakan dalam artian khusus yaitu: “cara yang biasa
dilakukan dalam pengalaman agama”.
As-Sunnah itu bersifat Dzanni al-warud. Dari kenyataan ini
jumhur ulama mengatakan bahwa As-Sunnah menempati urutan yang kedua setelah
Al-Qur’an, jadi As-Sunnah adalah semua bentuk perkataan, perbuatan dan taqrir
nabi yang merupakan sumber kedua setelah Al-qur’an.
Sunnah dalam istilah ulama ushul adalah: “apa-apa yang
diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan maupun
pengakuan dan sifat Nabi”. Sedangkan Sunnah dalam istilah ulama fiqh adalah:
“sifat hukum bagi suatu perbuatan yang dituntut melakukannya dalam bentuk
tuntutan yang tidak pasti” dengan pengertian diberi pahala orang yang
melakukannya dan tidak berdosa orang yang tidak melakukannya.
Di kalangan ulama ada yang membedakan Sunnah dari Hadits,
terutama karena dari segi etimologi kedua kata itu memang berbeda. Kata Hadits
lebih banyak mengarah kepada ucapan-ucapan Nabi, sedangkan Sunnah lebih banyak
mengarah kepada perbuatan dan tindakan Nabi yang sudah menjadi tradisi yang
hidup dalam pengamalan agama.
Semua ulama Ahli as-Sunnah baik dalam kelompok ahli fiqh,
ulama ushul fiqh maupun ulama Hadits sepakat mengatakan bahwa kata Sunnah atau
Hadits itu hanya merujuk kepada dan berlaku untuk Nabi dan tidak digunakan
untuk selain dari Nabi. Alasannya adalah karena beliau sendirilah yang
dinyatakan sebagai manusia yang ma’shum (terpelihara dari kesalahan), dan
karenanya beliau sendirilah yang merupakan sumber teladan, sehingga apa yang
disunnahkannya mengikat seluruh umat Islam.
2. Kedudukan As-Sunnah
As-Sunnah itu bersifat Dzanni al-warud. Dari kenyataan ini
jumhur ulama mengatakan bahwa As-Sunnah menempati urutan yang kedua setelah
Al-Qur’an, jadi As-Sunnah adalah semua bentuk perkataan, perbuatan dan taqrir
nabi yang merupakan sumber kedua setelah Al-Qur’an.
Kedudukan sunnah menurut dalil syara’ berada pada posisi
kedua setelah Al-Qur’an dalam kaitan ini Al-Syatibi dan Al-Qasimi, pada
dasarnya argumentasi mereka digolongkannya menjadi dua bagian, yaitu
argumentasi rasional dan tekstual, yaitu :
· Al-Qur’an bersifat Qath’I al-wurud,
sedangkan sunnah bersifat Zhanny al wurud oleh karena itu yang Qhat’i harus
didahulukan dari yang Zhanny.
· As-Sunnah berfungsi sebagai penjabar
atau penjelas dari Al-qur’an.
3. Fungsi As-Sunnah
Dalam uraian tentang Al-Qur’an telah
dijelaskan bahwa sebagian besar ayat-ayat hukum dalam Al-Quran adalah dalam
bentuk garis besar yang secara amaliyah belum dapat dilaksanakan tanpa
penjelasan dari Sunnah. Dengan demikian fungsi Sunnah yang utama adalah untuk
menjelaskan Al-Qur’an.
Dengan demikian bila Al-Qur’an
disebut sebagai sumber asli bagi hukum fiqh, maka sunnah disebut sebagai
bayani. Dalam kedudukannya sebagai bayani dalam hubungannya dengan Al-Qur’an,
ia menjalankan fungsi sebagai berikut:
·
Menguatkan
dan menegaskan hukum-hukum yang tersebut dalam Al-Qur’an atau disebut fungsi
ta’kid dan taqrir.
·
Memberikan
penjelasan terhadap apa yang dimaksudkan dalam Al-Qur’an dalam hal :
§ Menjelaskan arti yang masih samar
dalam Al-Qur’an,
§ Merinci apa-apa yang dalam Al-Qur’an
disebutkan secara garis besar,
§ Membatasi apa-apa yang dalam
Al-Qur’an disebutkan secara umum,
§ Memperluas maksud dari sesuatu yang
tersebut dalam Al-Qur’an.
·
Menetapkan
sesuatu hukum dalam Sunnah yang secara jelas tidak terdapat dalam Al-Qur’an.
Fungsi Sunnah dalam bentuk ini disebut “itsbat” (إثبات) atau “insya” (إنشاء).
C.
Ijma’
1. Pengertian Ijma’
Secara
etimologi ijma’ berasal dari kata Ajma’a, yujmi’u, ijma’atan, yang artinya
“bersetuju, bersatu pendapat, bersepakat”. Adapun pengertian ijma dalam istilah
teknis hukum atau istilah Syar’i terdapat perbedaan rumusan. Perbedaan rumusan
itu dapat di lihat dalam beberapa rumusan atau devinisi ijma sebagai berikut:
· Al-Ghazali merumuskan Ijma dengan
kesepakatan umat Muhammad secara khusus atas urusan agama.
· Al-Hamidi yang juga pengikut
Syafi’iyah merumuskan ijma dalam dua rumusan:
§ Ijma’
adalah kesepakatan sejumlah Ahlu Halli Wal ‘Aqdi (para ahli yang berkompeten
mengurusi umat) dari umat Nabi Muhammad saw., pada suatu masa atas hukum
suatu kasus.
§ Kesepakatan para mukallaf dari umat
Nabi Muhammad saw., pada suatu masa atas hukum suatu kasus.
· Sedang Ijma menurut pengertian para
ahli Ushul Fiqih adalah kesepakatan seluruh para mujtahid di kalangan umat
Islam pada suatu masa ketika Rasulullah saw., wafat atas hukum syara’ mengenai
suatu kejadian.
2. Kedudukan Ijma’
Jumhur
ulama’ berpendapat bahwa kedudukan Ijma’ menempati salah satu sumber atau dalil
hukum sesudah Al-Qur’an dan Sunnah. Ini berarti Ijma’ dapat menetapkan hukum
yang mengikat dan wajib dipatuhi umat Islam bila tidak ada ditetapkan hukumnya
dalam Al-Qu’an maupun Sunnah.
3. Fungsi Ijma’
Yang dimaksud fungsi ijma’ disini adalah kedudukannya
dihubungkan dengan dalil lain, berupa nash atau bukan. Memang pada dasarnya
ijma’ itu, menurut ulama’ ahl al Sunnah, mempunyai kekuatan dalam menetapkan
hukum dengan sendirinya. Tetapi dalam pandangan ulama’ Syi’ah, ijma’ itu adalah
hanya untuk menyingkapkan adanya ucapan seseorang yang ma’sum. Dalam hal ini
terdapat dua pandangan masing-masing kelompok.
Dalam pandangan ulama’ yang berpendapat bahwa untuk kekuatan
suatu ijma’ tidak diperlukan sandaran atau rujukan kepada dalil yang kuat.
Ijma’ itu berfungsi menetapkan hukum atas dasar taufiq Allah yang telah
diberikan kepada mereka yang berijma’. Sehingga kedudukan dan fungsi ijma’ itu
bersifat mandiri.
Dalam pandangan ulama’ yang mengharuskan adanya sandaran
untuk suatu ijma’, dalam bentuk nash atau qiyas, maka ijma’ itu berfungsi untuk
meningkatkan kwalitas dalil yang dijadikan sandaran itu. Melalui ijma’ dalil
yang asalnya lemah (zhanni) menjadi dalil yang kuat (Qoth’i), baik dalil itu
berbentuk nash atau qiyas. Contohnya ijma’ yang menguatkan dalil Sunnah yang
dijadikan sandaran adalah mengenai hak warisan nenek dari harta peninggalan
cucunya. Hal ini bermula dari sebuah hadist yang lemah, namun akhirnya menjadi
ijma’ yang kuat. Sedangkan ijma’ yang berarti dari qiyas bisa dilihat dalm
kasus pengangkatan Abu Bakar menjadi khalifah.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Jadi, dari
pembahasan di atas, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa sumber hukum Islam
yang disepakati oleh ulama yaitu berupa Al-Qur’an, As-Sunnah, dan juga Ijma’.
Al-Qur’an
merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada Rasulullah saw., dan sebagai
sumber hukum Islam yang pertama dan utama dalam menentukan hukum fiqih.
As-Sunnah
merupakan perbuatan maupun perkataan Rasulullah saw., dan sebagai sumber hukum
kedua setelah Al-Qur’an.
Ijma’
merupakan kesepakatan seluruh para mujtahid di kalangan umat Islam pada suatu
masa ketika Rasulullah saw., wafat atas hukum syara’ mengenai suatu kejadian
dan sebagai sumber hukum Islam setelah Al-Qur’an dan As-Sunnah.
B.
Saran
Demikianlah
makalah yang dapat kami paparkan. Sebagai manusia, kami pun tak luput dari
kesalahan dan tentunya masih sangat jauh dari kesempurnaan. Tapi, semoga saja
yang kita pelajari ini bermanfaat, dengan harapan bisa menambah Pengetahuan dan
Keilmuan bagi kita semua. Kritik dan saran yang bersifat membangun sangat
diharapkan untuk menjadi koreksi kedepan.
DAFTAR PUSTAKA
-
http\\www.hikmatun.wordpress.com\pengertian
al-qur’an
-
Alquran dan Terjemahannya, 1971: Saudi Arabia
-
M.Quraish Shihab, Membumikan Alquran
-
Syuhudi Ismail, Ilmu Hadist