KATA
PENGANTAR
Puji syukur senantiasa kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang
Maha Esa, karena atas rahmat dan izin-Nya kami diberikan kemudahan dan
kelancaran sehingga dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “ Tata cara Sholat Bagi Orang Yang Sakit”.
Terima kasih juga kami ucapkan
kepada teman-teman, terutama kepada dosen mata kuliah “Pendidikan Agama Islam” Drs.Agus
Salim,M.Pd.I yang telah memberikan pengarahan kepada kami dalam membuat makalah
ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat
kepada para pembacanya. Namun demikian, kami sangat menyadari bahwa dalam
penyajian makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami menerima
setiap kritik dan saran dari pembaca dengan tangan terbuka.
Terima kasih
Pamekasan,23
November 2014
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
sampul..................................................................................................
KATA
PENGANTAR........................................................................................ i
DAFTAR ISI....................................................................................................... ii
DAFTAR ISI....................................................................................................... ii
BAB
I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah............................................................................ 1
B. Rumusan
Maslah....................................................................................... 1
C. Tujuan........................................................................................................ 1
BAB
II PEMBAHASAN
A.
Shalat Orang Yang Sakit............................................................................................................ 2
B.
Hukum-Hukum Berhubungan dengan Shalat Orang Sakit....................... 3
C.
Tata Cara
Shalat Bagi Orang Yang Sakit.................................................. 4
D.
Peran Perawat Dalam
Membimbing Praktek Ibadah Pasien..................... 9
BAB
III PENUTUP
A.
Kesimpulan................................................................................................ 13
B.
Saran ......................................................................................................... 13
DAFTAR
PUSTAKA......................................................................................... 14
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Shalat merupakan salah satu kewajiban bagi kaum muslimin
yang sudah mukallaf dan harus dikerjakan baik bagi mukimin maupun dalam
perjalanan.
Shalat merupakan rukun Islam kedua setelah syahadat. Islam didirikan atas lima sendi (tiang) salah satunya adalah shalat, sehingga barang siapa mendirikan shalat ,maka ia mendirikan agama (Islam), dan barang siapa meninggalkan shalat,maka ia meruntuhkan agama (Islam).
Shalat merupakan rukun Islam kedua setelah syahadat. Islam didirikan atas lima sendi (tiang) salah satunya adalah shalat, sehingga barang siapa mendirikan shalat ,maka ia mendirikan agama (Islam), dan barang siapa meninggalkan shalat,maka ia meruntuhkan agama (Islam).
Shalat harus didirikan dalam satu hari satu malam sebanyak
lima kali, berjumlah 17 rakaat. Shalat tersebut merupakan wajib yang harus
dilaksanakan tanpa kecuali bagi muslim mukallaf baik sedang sehat maupun sakit.
Selain shalat wajib ada juga ,shalat –shalat sunah.
Perawat memberikan pelayanan yang holistik mencakup semua
aspek, salah satu nya adalah aspek spiritual. Oleh karena itu kami tertarik
untuk membahas tentang bagaimana peranan perawat dalam bidang spiritual.
B. Rumusan
Masalah
1.
Hukum
Sholat Bagi Orang Yang sakit
2.
Tata
Cara Bagi Orang Yang Sakit
3.
Memahami
Sholatnya Orang Yang Sakit
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
Memahami Konsep keperawatan Islami khususnya
dengan masalah kewajiban sholat dalam segala kondisi.
BAB II
PEMBAHASAN
E.
Shalat Orang Yang Sakit
Seorang hamba terkadang diuji oleh Allah dengan
sakit yang menimpanya, sakit tersebut bisa berupa sakit yang ringan tetapi
tidak sedikit pula seorang hamba yang diuji oleh Allah dengan diberi sakit yang
menyebabkan hamba tersebut harus dirawat dirumah sakit sehingga menghabiskan
hari-harinya dengan beristirahat diatas dipan. Dalam keadaan demikian, kaum
muslimin dibagi menjadi dua golongan yang berkenaan tentang kewajiban shalat
yang harus dilakukannya sebagai seorang muslim, pertama enggan melaksanakan shalat karena alasan sakitnya
-baik sakit ringan atau berat- dan kedua memaksakan diri shalat layaknya ketika masih sehat
sehingga sakitnya tambah parah atau tidak kunjung sembuh.
Syari’at Islam dibangun di atas dasar ilmu dan kemampuan orang yang
dibebani. Tak ada satupun beban syari’at yang diwajibkan kepada seseorang di
luar kemampuannya. Allah azza wa jalla sendiri menjelaskan hal ini dalam firman-Nya:
لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا
“Allah
tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”
(QS.al-Baqoroh: 286)
Allah subhanahu wa ta’ala juga
memerintahkan kaum muslimin untuk agar bertaqwa sesuai dengan kemampuan mereka.
Allah berfirman,
فَاتَّقُوا اللهَ مَااسْتَطَعْتُمْ
“Maka
bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu” (QS. At-Taghobun: 16)
Orang yang sakit tidak sama dengan orang yang
sehat. Masing-masing harus berusaha melaksanakan kewajibannya menurut
kemampuannya. Dari sini, nampaklah keindahan dan kemudahan syariat Islam.
Diantara kewajiban agung yang wajib dilakukan orang
yang sakit adalah shalat. Banyak sekali kaum muslimin yang terkadang
meninggalkan shalat dengan dalih sakit atau memaksakan diri melakukan shalat
dengan tata cara yang biasa dilakukan orang sehat.
Akhirnya, mereka pun merasa berat dan merasa terbebani
dengan ibadah shalat. Untuk itu, solusinya adalah mengetahui hukum-hukum dan
tata cara shalat bagi orang yang sakit sesuai petunjuk Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan penjelasan para ulama.
F.
Hukum-Hukum
Berhubungan dengan Shalat Orang Sakit
Diantara hukum-hukum shalat bagi orang yang sakit
adalah sebagai berikut:
1.
Orang yang sakit tetap wajib mengerjakan shalat pada
waktunya dan melaksanakannya menurut kemampuannya, sebagaimana diperintahkan
Allah subhanahu wa ta’ala dalam firman-Nya,
فَاتَّقُوا اللهَ
مَااسْتَطَعْتُمْ
“Maka bertaqwalah kamu kepada Allah
menurut kesanggupanmu” (QS.
At-Taghobun: 16)
Dan sabda Nabi
shollallahu’alaihi wa sallam dalam hadits Imron bin Husain:“Pernah penyakit wasir menimpaku, lalu aku bertanya kepada Nabi shallallahu’alaihi
wa sallam tentang cara shalatnya. Maka beliau shollallahu’alaihi wa sallam
menjawab: Shalatlahdengan berdiri, apabila tidak mampu, maka duduklah dan bila
tidak mampu juga maka berbaringlah.” (HR. Bukhori no.1117)
2.
Apabila
melakukan shalat pada waktunya terasa berat baginya, maka diperbolehkan
menjama’ (menggabung) shalat, shalat Dzuhur dan Ashar, Maghrib dan Isya’ baik
dengan jama’ taqdim atau takhir, dengan cara memilih yang termudah baginya.
Sedangkan shalat Shubuh maka tidak boleh dijama’ karena waktunya terpisah dari
shalat sebelum dan sesudahnya. Diantara dasar kebolehan ini adalah hadits Ibnu
Abbas radliyallahu’anhu yang berbunyi:
“Rasulullah
shollallahu’alaihi wa sallam telah menjama’ antara Dzuhur dan Ashar, Maghrib
dan Isya’ di kota Madinah tanpa sebab takut dan hujan. Abu Kuraib rahimahullah berkata: “Aku bertanya kepada
Ibnu Abbas radliyallahu’anhu: “Mengapa beliau berbuat demikian?” Beliau
radliyallahu’anhu menjawab: “Agar tidak menyusahkan umatnya. (HR. Muslim no.
705)
3.
Dalam hadits diatas jelas
Rasulullah shollallahu’alaihi wa sallam membolehkan kita menjama’ shalat karena adanya rasa berat
yang menyusahkan (masyaqqah) dan sakit
adalah masyaqqah. Ini juga
dikuatkan dengan menganalogikan orang sakit dengan orang yang terkena istihadhoh
yang diperintahkan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam untuk mengakhirkan shalat
Dzuhur dan mempercepat Ashar dan mengakhirkan Maghrib serta mempercepat Isya’.
Orang
yang sakit tidak boleh meninggalkan shalat wajib dalam segala kondisi apapun selama
akalnya masih baik
4.
Orang sakit yang berat shalat
jama’ah di masjid atau ia khawatir akan menambah dan atau memperlambat
kesembuhannya jka shalat di masjid, maka dibolehkan tidak shalat berjama’ah. Imam ibnu al-Mundzir rahimahullah menyatakan: Tidak ada
perbedaan pendapat diantara ulama bahwa orang sakit dibolehkan tidak shalat
berjama’ah karena sakitnya. Hal itu kerena nabi shallallahu’alaihi wa sallam
ketika sakit tidak hadir di masjid dan berkata:
“Perintahkan Abu Bakar
radliyallahu’anhu agar mengimami shalat. (Muttafaqun ‘alaihi)
G.
Tata Cara Shalat Bagi Orang Yang Sakit
Tata
cara shalat bagi orang sakit adalah sebagai berikut:
1.
Diwajibkan bagi orang
yang sakit untuk shalat dengan berdiri apabila mampu dan tidak khawatir
sakitnya bertambah parah, karena berdiri dalam shalat wajib merupakan rukun
shalat. Allah azza wa jalla berfirman:
وَقُومُوا للهِ
قَانِتِينَ….
”Berdirilah
untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’ ”(QS. Al-Baqarah: 238)
Diwajibkan
juga bagi orang yang mampu berdiri walaupun dengan menggunakan tongkat,
bersandar ke tembok atau berpegangan tiang, berdasarkan hadits Ummu Qais
radliyallahu’anha yang berbunyi:
”Sesungguhnya
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam ketika berusia lanjut dan lemah, beliau
memasang tiang di tempat shalatnya sebagai sandaran.” (HR. Abu Dawud dan
dishahihkan al-Albani dalam Silsilah ash-Shahihah 319)
Demikian
juga orang bungkuk diwajibkan berdiri walaupun keadaannya seperti orang rukuk.
Syaikh ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, ”Diwajibkan
berdiri bagi seorang dalam segala caranya, walaupun menyerupai orang
ruku’ atau bersandar kepada tongkat,
tembok, tiang, ataupun manusia.”
2.
Orang yang mampu berdiri namun tidak mampu ruku’ atau
sujud, ia tetap wajib berdiri. Ia harus shalat dengan berdiri dan melakukan
ruku’ dengan menundukkan badannya. Bila ia tidak mampu membungkukkan
punggungnya sama sekali, maka cukup dengan menundukkan lehernya, kemudian
duduk, lalu menundukkan badan untuk sujud dalam keadaan duduk dengan
mendekatkan wajahnya ke tanah sebisa mungkin.
3.
Orang sakit yang tidak mampu berdiri, maka ia melakukan
shalatnya dengan duduk, berdasarkan hadits ’Imron bin Hushain dan ijma’ para ulama. Ibnu Qudamah rahimahullah menyatakan,
”Para ulama terlah berijma’ bahwa orang
yang tidak mampu shalat berdiri maka dibolehkan shalat dengan duduk”.
4.
Orang yang sakit yang khawatir akan bertambah parah
sakitnya atau memperlambat kesembuhannya atau sangat susah berdiri,
diperbolehkan shalat dengan duduk. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata: ”Yang
benar adalah, kesulitan (masyaqqah) membolehkan seseorang mengerjakan shalat
dengan duduk. Apabila seorang merasa susah mengerjakan shalat berdiri, maka ia
boleh mengerjakan shalat dengan duduk berdasarkan firman Allah subhanahu wa
ta’ala:
…….يُرِيدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ …..
”Allah
menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” (QS.
Al-Baqarah:185)
Sebagaimana orang yang berat berpuasa bagi orang yang
sakit, walaupun masih mampu puasa, diperbolehkan baginya berbuka dan
tidak berpuasa, demikian juga shalat, apabila berat untuk berdiri maka boleh
mengerjakan shalat dengan duduk”. Orang
yang sakit apabila mengerjakan shalat dengan duduk sebaiknya duduk bersila pada
posisi berdirinya, berdasarkan hadits ’Aisyah radliyallahu’anha yang berbunyi:
”Aku melihat Nabi shallallahu’alaihi wa sallam shalat
dengan bersila”.
Juga, karena duduk bersila secara umum lebih mudah dan
lebih tuma’ninah (tenang) daripada duduk iftirasy.
Apabila
rukuk, maka lakukanlah dengan bersila dengan membungkukkan punggung dan
meletakkan tangan di lutut, karena ruku’ dilakukan dengan berdiri
Dalam keadaan demikian, masih diwajibkan sujud diatas
tanah dengan dasar keumumam hadits Ibnu Abbas radliyallahu’anhu yang berbunyi:
Sesungguhnya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam
bersabda: ”Aku diperintahkan untuk bersujud dengan tujuh tulang;
dahi –beliau mengisyaratkan dengan tangannya ke hidung-, kedua telapak tangan,
dua kaki dan ujung kedua telapak kaki.”
(Muttafaqqun a’alaihi).
Bila tetap tidak mampu, ia melakukan sujud dengan
meletakkan kedua telapak tangannya ke tanah dan menunduk untuk sujud. Bila
tidak mampu, hendaknya ia meletakkan tangannya di lututnya dan menundukkan
kepalanya lebih rendah dari pada ketika
ruku’.
5.
Orang sakit yang tidak mampu melakukan shalat berdiri
dan duduk, cara melakukannya adalah dengan cara berbaring, boleh dengan miring
ke kanan atau ke kiri, dengan menghadapkan wajahnya ke arah kiblat. Ini
berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dalam hadits ’Imran
bin al-Husain radliyallahu’anhu:
”Shalatlah
dengan berdiri, apabila tidak mampu maka duduklah dan bila tidak mampu juga
maka berbaringlah.” (HR. Al-Bukhori no.1117)
Dalam hadits ini Nabi shallallahu’alaihi wa sallam
tidak menjelaskan pada sisi mana seseorang harus berbaring, ke kanan atau ke
kiri, sehingga yang utama adalah yang termudah bagi keduanya. Apabila miring ke
kanan lebih mudah, itu yang lebih utama baginya dan apabila miring ke kiri itu
yang termudah maka itu yang lebih utama. Namun bila kedua-duanya sama mudahnya,
maka miring ke kanan lebih
utama dengan dasar keumuman hadits ’Aisyah radliyallahu’anha yang berbunyi:
”Dahulu Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam
menyukai mendahulukan sebelah kanan dalam seluruh urusannya, dalam memakai
sandal, menyisir dan bersucinya.” (HR. Muslim no.396).
Melakukan ruku’ dan sujud dengan isyarat merendahkan
kepala ke dada, ketentuannya, sujud lebih rendah daripada ruku’. Apabila tidak
mampu menggerakkan kepalanya, maka para ulama berbeda pendapat dalam tiga pendapat:
a) Melakukannya dengan mata. Apabila ruku’, ia
memejamkan matanya sedikit kemudian mengucapkan kata ”sami’allahu liman
hamidah” lalu membuka matanya. Apabila sujud maka memejamkan matanya lebih
dalam.
b) Gugur semua gerakan namun masih melakukan shalat
dengan perkataan.
c) Gugur kewajiban shalatnya. Inilah adalah pendapat
yang dirajihkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Syaikh Ibnu Utsaimin
rahimahullah merajihkan pendapat kedua dengan menyatakan, ”Yang rajih dari tiga
pendapat tersebut adalah gugurnya perbuatan saja, karena ini saja yang tidak
mampu dilakukan. Sedangkan perkataan, tetap tidak gugur, karena ia mampu
melakukannya dan Allah berfirman”:
فَاتَّقُوا اللهَ
مَااسْتَطَعْتُمْ
“Maka
bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu” (QS. At-Taghobun: 16)
6.
Orang yang tidak mampu berbaring, boleh melakukan
shalat dengan terlentang dan menghadapkan kakinya ke arah kiblat, karena hal
ini lebih dekat kepada cara berdiri. Misalnya bila kiblatnya arah barat maka
letak kepalanya di sebelah timur dan kakinya di arah barat.
7.
Apabila tidak mampu menghadap kiblat dan tidak ada
yang mengarahkan atau membantu mengarahkannya, maka hendaklah ia shalat sesuai
keadaannya tersebut, berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala:
لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ
وُسْعَهَا
”Allah
tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” (QS. Al-Baqarah/ 2:286).
8.
Orang sakit yang tidak
mampu shalat dengan terlentang maka shalatnya sesuai keadaannya dengan dasar
firman Allah subhanahu wa ta’ala:
فَاتَّقُوا اللهَ مَااسْتَطَعْتُمْ
“Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut
kesanggupanmu” (QS. At-Taghobun: 16)
9.
Orang yang sakit dan tidak mampu melakukan shalat
dengan semua gerakan di atas (ia tidak mampu menggerakkan anggota tubuhnya dan
tidak mampu juga dengan matanya), hendaknya dia melakukan shalat dengan
hatinya. Shalat tetap diwajibkan selama akal seorang masih sehat.
10.
Apabila shalat orang yang sakit mampu melakukan
perbuatan yang sebelumnya tidak mampu, baik keadaan berdiri, ruku’ atau sujud,
maka ia wajib melaksanakan shalatnya dengan kemampuan yang ada dan
menyempurnakan yang tersisa. Ia tidak perlu mengulang yang telah lalu, karena
yang telah lalu dari shalat tersebut telah sah.
11.
Apabila orang yang sakit tidak mampu melakukan sujud
di atas tanah, hendaknya ia cukup menundukkan kepalanya dan tidak mengambil
sesuatu sebagai alas sujud. Hal ini didasarkan hadits Jabir radliyallahu’anhu
yang berbunyi:
”Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam menjenguk orang sakit, beliau melihatnya
sedang mengerjakan shalat di atas (bertelekan) bantal, beliau pun mengambil dan
melemparnya. Kemudian ia mengambil kayu untuk dijadikan alas shalatnya, Nabi
shallallahu’alaihi wa sallam pun mengambilnya dan melemparnya. Beliau
shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: ”Shalatlah di atas tanah apabila engkau
mampu dan bila tidak maka dengan isyarat dengan menunduk (al-Imaa’) dan jadikan
sujudmu lebih rendah dari ruku’mu.”
Inilah sebagian hukum yang menjelaskan tata cara
shalat bagi orang sakit, mudah-mudahan dapat memberikan bimbingan kepada
mereka. Dengan harapan, setelah ini mereka tidak meninggalkan shalat hanya
karena sakit yang dideritanya.
H.
Peran Perawat Dalam Membimbing Praktek
Ibadah Pasien
Peranan perawat tidak
sebatas memberikan pengobatan secara fisik melainkan juga pengobatan psikis
(kejiwaan) pasien. Diyakini, dengan dibantu oleh terapi secara psikis akan
lebih membantu kesembuhan pasien karena kondisi kejiwaannya lebih tenang.
Menurut Dra. Suharyati
Samba, kedudukan perawat amat penting, karena satu-satunya tenaga kesehatan
yang secara 24 jam dituntut untuk selalu di samping pasien. Kebutuhan dasar
manusia dalam pandangan keperawatan meliputi biologi, psikis, sosial, dan
spiritual hingga fungsi perawat untuk membantu pasien. Dalam menjalankan tugas,
seorang perawat harus melandasi kepada pikiran dan perasaan cinta, afeksi, dan
komitmen mendalam kepada pasiennya yang dapat dilakukan dengan cara:
1. Perawat
juga bisa membimbing ritual keagamaan sesuai dengan keyakinan klien, seperti
cara bertayamum, salat sambil tiduran, atau berzikir dan berdoa. “Bila perlu
perawat dapat mendatangkan guru agama pasien untuk dapat memberikan bimbingan
rohani hingga merasa tenang dan damai. Dalam kondisi sakaratul maut
perawat berkewajiban mengantarkan klien agar wafat dengan damai dan
bermartabat.
2. Tugas
seorang perawat, menekankan pasien agar tidak berputus asa apalagi menyatakan
kepada pasiennya tidak memiliki harapan hidup lagi. “Pernyataan tidak memiliki
harapan hidup untuk seorang muslim tidak dapat dibenarkan. Meski secara medis
tidak lagi bisa menanganinya, tapi kalau Allah bisa saja menyembuhkannya dengan
mengabaikan hukum sebab akibat, katanya”.
3. Perawat
juga memandu pasiennya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT hingga
kondisinya semakin shaleh yang bisa mendatangkan ”manjurnya” doa. Sedangkan
Isep Zainal Arifin menekankan, perawat bisa memberikan bimbingan langsung
seperti tukar pikiran, berdoa bersama, dan bimbingan ibadah. “Bimbingan tak
langsung bisa berupa ceramah, percikan kata hikmah, buletin, doa tertulis,
maupun tuntunan ibadah secara tertulis. Dengan bimbingan itu diharapkan dapat
membantu proses kesembuhan pasien,” timpalnya.
Peran
perawat dalam membimbing pasien praktek ibadah antara lain :
1.
Membimbing pasien untuk berwudhu atau
bertayamum (thaharah)
Seorang perawat harus memiliki rasa perhatian penuh
terhadap pasien, bahkan perawatpun harus mapan dalam membantu pasien saat
bersuci. Pada saat hendak melaksanakan ibadah maka perawat harus bisa membantu
pasien untuk bersuci (thaharah) terlebih dahulu.
Thaharah hukumnya wajib berdasarkan Alquran dan
sunah. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang
beriman, apabila kalian hendak mengerjakan salat, maka basuhlah muka kalian dan
tangan kalian sampai dengan siku, dan sapulah kepala kalian, dan (basuh) kaki
kalian sampai dengan kedua mata kaki.” (Al-Maidah: 6).
2.
Membimbing pasien sholat apabila telah
tiba waktunya
Shalat hukumnya fardhu (wajib) bagi setiap orang
yang beriman yang telah memenuhi syarat, baik laki-laki maupun perempuan walaupun
dalam keadaan sakit. Shalat dibebankan kepada setiap kaum muslimin dan tidak
boleh meninggalkannya, kecuali bagi orang gila, anak kecil yang belum baligh,
dan wanita yang sedang haid atau nifas.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan kita
untuk mendirikan shalat, sebagaimana disebutkan dalam beberapa ayat Al-Qur’anul
Karim di antaranya adalah firman Allah Ta’ala, ”Maka dirikanlah shalat
itu, sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas
orang-orang yang beriman.” (Q. S. An-Nisa’: 103)
Adapun
ketentuan perawat dalam membimbing praktek shalat bagi pasien :
a.
wajib bagi orang yang sakit mengerjakan shalat fardhu dalam keadaan berdiri,
walaupun tidak bisa berdiri tegak (berdiri miring), atau bersandar pada dinding
atau tongkat.
b. jika tidak mampu shalat sambil berdiri, dia diperbolehkan shalat
sambil duduk. Ketika shalat sambil duduk, yang paling utama jika ingin
melakukan gerakan berdiri (qiyam) dan ruku’ adalah dengan duduk mutarobi’an
(duduk dengan kaki bersilang di bawah paha.
c. jika tidak mampu mengerjakan shalat sambil duduk, boleh shalat sambil
tidur menyamping (yang paling utama tidur menyamping pada sisi kanan) dan badan
mengarah ke arah kiblat. Jika tidak mampu diarahkan ke kiblat, boleh shalat ke
arah mana saja.
d. jika tidak mampu mengerjakan shalat sambil tidur menyamping, maka
dibolehkan tidur terlentang. Caranya adalah: kaki dihadapkan ke arah kiblat dan
sangat bagus jika kepala agak sedikit diangkat supaya terlihat menghadap ke
kiblat. Jika kakinya tadi tidak mampu dihadapkan ke kiblat, boleh shalat dalam
keadaan bagaimanapun. Jika memang terpaksa seperti ini, shalatnya tidak perlu
diulangi.
e. wajib bagi orang yang sakit melakukan gerakan ruku’ dan sujud. Jika
tidak mampu, boleh dengan memberi isyarat pada dua gerakan tadi dengan kepala.
Dan sujud diusahakan lebih rendah daripada ruku’. Jika mampu ruku’, namun tidak
mampu sujud, maka dia melakukan ruku’ sebagaimana ruku’ yang biasa dilakukan
dan sujud dilakukan dengan isyarat. Jika dia mampu sujud, namun tidak mampu
ruku’, maka dia melakukan sujud sebagaimana yang biasa dilakukan dan ruku’
dilakukan dengan isyarat.
f. jika tidak mampu berisyarat dengan kepala ketika ruku’ dan sujud, boleh
berisyarat dengan kedipan mata. Jika ruku’, mata dikedipkan sedikit. Namun
ketika sujud, mata lebih dikedipkan lagi. Adapun isyarat dengan jari
sebagaimana yang biasa dilakukan oleh sebagian orang yang sakit, maka ini
tidaklah benar. Aku sendiri tidak mengetahui kalau perbuatan semacam ini
memiliki landasan dari Al Kitab dan As Sunnah atau perkataan ulama.
g. jika tidak mampu berisyarat dengan kepala atau kedipan mata, maka
dibolehkan shalat dalam hati. Dia tetap bertakbir dan membaca surat, lalu
berniat melakukan ruku’, sujud, berdiri dan duduk dengan dibayangkan dalam hati.
Karena setiap orang akan memperoleh yang dia niatkan.
h. wajib bagi setiap orang yang sakit untuk mengerjakan shalat di waktunya
(tidak boleh sampai keluar waktu), dia mengerjakan sesuai dengan kemampuannya
sebagaimana yang telah dijelaskan dan tidak boleh mengakhirkan satu shalat dari
waktunya.
3.
Membimbing tadarus Al-Qur’an
اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلاةَ إِنَّ
الصَّلاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ
وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ
“Bacalah apa
yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Qur’an) dan dirikanlah
salat. Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan
mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (salat) adalah lebih besar
(keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu
kerjakan”. ( Al Ankabuut (29) : 45)
Membimbing agar selalu berdoa kepada Allah
Pasien dalam keadaan
sakit apapun tetap harus memohon petolongan kepada Allah SWT, karena hakekatnya
Allahlah yang memberikan kesembuhan bagi yang sedang sakit. Seorang perawat
harus mampu membimbing berdoa pasiennya agar lekas diberikan kesembuhan oleh
Allah SWT.
Allah SWT berfirman :
Allah SWT berfirman :
“Dan Tuhanmu berfirman:”Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Ku-perkenankan
bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan
masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina”. (QS. 40:60)
4.
Membimbing pasien agar
selalu berdzikir kepada Allah
Keadaan batin
pasien tidak stabil, selalu berprasangka buruk dengan apa yang Allah
ujikan kepadanya. Sebagai perawat yang profesional kita harus mampu membimbing
pasien agar selalu mengingat Allah (dzikir) agar batin pasien menjadi lebih
tenang dan tidak berprasangka buruk terhadap apa yang pasien hadapi.
Allah berfirman dalam
surat Ar-Ra’d : 28 yang artinya :
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan
mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi
tenteram.”
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Shalat
merupakan penyerahan diri secara talalitas untuk menghadap Tuhan, dengan
perkataan dan perbuatan menurut syarat dan rukun yang telah ditentukan syara.
Sholat
bagi orang yang sakit tidak sama dengan yang sehat. Semua harus berusaha
melaksanakan kewajibannya menurut kemampuan masing-masing.Banyak sekali kaum
muslimin yang kadang meninggalkan sholat dengan dalih sakit atau memaksakan
diri sholat dengan tata-tata cara yang biasa dilakukan orang sehat. Akhirnya
merasakan beratnya sholat bahkan merasakan hal itu sebagai beban yang
menyusahkannya.
B.
Saran
Berdasarkan
kesimpulan diatas kelompok mencoba mengemukakan saran sebagai pertimbangan
untuk meningkatkan kualitas Asuhan Keperawatan. Adapun saran-saran yang dapat
diberikan adalah sebagai berikut :
Kewajiban mengenal hukum-hukum dan
tata cara sholat orang yang sakit sesuai petunjuk Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dan penjelasan para ulama.
Di antara hukum-hukum yang
berhubungan dengan orang sakit dalam ibadah sholatnya adalah:
1. Orang yang sakit tetap wajib sholat diwaktunya dan
melaksanakannya menurut kemampuannya
2. Orang yang sakit tidak boleh meninggalkan sholat wajib
dalam segala kondisinya selama akalnya masih baik .
3. Orang sakit yang berat untuk mendatangi masjid berjama’ah
atau akan menambah dan atau memperlambat kesembuhannya bila sholat berjamaah di
masjid maka dibolehkan tidak sholat berjama’ah
DAFTAR PUSTAKA
http://ekonomisyariat.com/fikih-umum/sholat-orang-yang-sakit.html
http://maramissetiawan.wordpress.com/2009/04/13/shalat-orang-yang-sakit/
http://www.google.co.id/imgres?imgurl=http://3.bp.blogspot.com
5 Februari 2017 pukul 02.46
Maaf ustad' saya ingin bertanya??? Bagaimana cara ruku dan sujud dalam shalat duduk bersila???